Work Text:
"Don, cepetan! Sini!"
Donna tersadar dari lamunannya saat suara Ellin menyaring lebih besar dari suara sorakan orang-orang. Aula basket sangat penuh hari itu dan Donna berdiri di antara teriakan dan sorakan para mahasiswa dari kursi penonton.
"Eh, permisi," Donna merunduk dan melewati beberapa penonton, menghampiri Ellin yang sudah duduk manis dan mengipaskan wajahnya dengan kertas brosur. "Lin, sanaan dong duduknya."
"Lagian elu bengong terus dari tadi," Ellin mengeluh, mengipaskan kertas brosur yang sudah tidak terselamatkan itu lebih kencang lagi.
"Ya, udah mau mulai game nya," Donna menempatkan diri di samping Ellin dan melihat ke sekitar. "Lah, kok kita misah sama yang lain?"
"Sengaja," Ellin tersenyum tipis. "Ntar lu juga bilang makasih sama gue."
"Hah?"
Sebelum bisa menjelaskan, sorakan penonton membesar mengikuti suara MC yang memanggil para pemain untuk masuk lapangan. Satu per satu para pemain memasuki area bermain dan akhirnya orang yang ditunggu-tunggu Donna pun keluar.
Pemandangannya pun sangat jelas.
“Lin,” Donna tidak melepaskan matanya dari arah lapangan. “Makasih ya.”
“Sama-sama.”
Permainan dimulai dan gema teriakan para penonton meningkat. Yel-yel yang dikumandangkan saling saut-menyaut antar jurusan, dan Donna baru sadar ia sedang duduk di area kursi penonton lawan saat lagu yel-yel musuh terdengar dekat di sebelah kanannya.
“Maba sekarang pada kreatif, deh, bikin yel-yel,” Komentar Ellin. “Angkatan kita dulu boro-boro mau kreatif, baru lima menit nyanyiin yel-yel aja suaranya udah pada ilang.”
“Terus kena marah deh,” Donna tertawa mengenang masa-masa mabanya, tetapi matanya tidak meninggalkan area lapangan, atau lebih tepatnya, seseorang .
“Lo ngerti basket juga kaga tapi serius amat ngeliatinnya,” Ellin melirik temannya itu dan menyenggol bahunya.
“Yang main jurusan kita, ya harus serius lah.”
“Yakin gue lo ga peduli juga jurusan kita kalah apa menang.”
“Emang engga,” Donna tersenyum seperti orang bodoh di mata Ellin. “Gila, Lin, dia ganteng banget.”
Ellin tahu siapa yang dimaksud Donna. Tersangka utama yang sudah mengambil hati temannya itu semenjak mereka maba sedang berlari-lari di lapangan menjadi kapten tim basket perwakilan jurusan mereka. Ellin tidak menyalahkan Donna yang menaksirnya begitu dalam sejak lama, tentu saja senior mereka itu sangat pantas untuk disukai banyak perempuan dari berbagai jurusan, termasuk Ellin sendiri, bila ia tidak pernah melihat tingkah teman dekatnya itu.
Sorakan terdengar saat bola terlihat masuk ke net . Dan ternyata jurusan mereka yang mendapatkan skor.
“Bang Diluc!” Donna berteriak sangat keras telinga Ellin berdengung. “Bang Diluc! Bang Diluc!”
“Eh, orgil banget lu, kita lagi duduk di tempat lawan malah teriak-teriak.” Ellin memukulkan kertas brosurnya ke Donna.
“Ellin, gila, Lin, keren banget Bang Diluc tadi, lo liat kan, Lin? Ellin, sumpaahhh,” Donna yang tidak menghiraukan Ellin menjerit kegirangan sendiri, mata berbinar-binar dan bahunya masih gemetaran dari rasa girang. “Abang gue keren banget, ih, Lin, gimana dong, dia keren banget!”
“Orgil detected ,” Ellin memutar bola matanya dan melihat sekitar tempat duduk mereka. “Don, kita diliatin tau.”
“Kalo kita duduk sama anak-anak sejurusan kita tambah diliatin lagi kali,” kata Donna, menghela napas panjang dan duduk tenang kembali. “Huhu… ganteng banget abang gue…”
Ellin melirik sekali lagi ke arah Donna dan mengalihkan pandangan ke senior mereka. Ia tidak tahu pasti seberapa dalam perasaan Donna terhadap senior yang mereka panggil dengan sebutan ‘Bang Diluc’ dengan akrab. Kadang terlihat hanya seperti rasa suka layaknya fans kepada penggemarnya, namun kadang juga Ellin melihat rasa lebih dalam dari itu. Membungkus berbagai macam pertanyaan untuk Donna di kepalanya, Ellin kembali memusatkan perhatiannya ke lapangan.
Dan permainannya pun dimulai kembali.
“Ini dia bintang utamanya dateng!”
Sautan yang meriah terdengar saat Diluc datang menghampiri keramaian tongkrongannya itu. Donna duduk tidak jauh dari para senior berkumpul, menemani para maba yang masih malu untuk bergabung. Ia melirik ke arah keramaian di tengah kursi tongkrongan mereka itu, dengan fokus penglihatannya tertuju kepada seniornya yang berambut merah.
Diluc duduk dengan rangkulan akrab dari Itto, yang sedang memegang piala juara satu pertandingan basket tadi. Sapaan dan pujian menghujani tim basket mereka malam itu dan lantunan gitar dan nyanyian juga tak henti ikut meramaikan kemenangan mereka.
Sebuah aktivitas yang biasa dilakukan namun sedikit spesial malam itu di tongkrongan mereka.
Donna mengobrol dengan para maba, beberapa kali matanya tanpa sadar mengarah ke Diluc. Satu kali, Diluc sedang berbincang santai dengan Thoma dan Itto.
kedua kali, Diluc masih berbicara dan melayangkan senyum tipis ke arah Thoma.
Ketiga kali, Diluc menunduk memegang ponselnya, mengabaikan Itto yang tertawa keras di sampingnya.
Keempat kali, Diluc memberi respon berupa anggukan kecil untuk Thoma dan kembali menunduk mengecek ponselnya.
Kelima kali, Diluc hilang dari tempat duduknya.
Donna terbangun dengan sigap dan memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari sosok lelaki berambut merah di tengah keramaian.
“Kakak nyari siapa?” Tanya seorang maba, Blanche, dengan polosnya.
“Hah? Oh, engga, nyariin si Ellin perasaan tadi ada,” Donna berkata dengan pelan dan tersenyum ke arah para maba itu, sembari duduk kembali.
“Kak Ellin tadi aku liat ke luar sih, kak, sama kak Sara, kak Eury juga.” Jawab maba satu lagi, Esther. “Kakak mau ke luar juga, kak?”
“Engga kok, aku mau di sini aja,” Jawab Donna, matanya masih berkeliaran menelusuri keramaian.
“Eh, Kak, kita boleh nanya ga?” Blanche memulai, diiringi anggukan dari Esther.
“Nanya apa?”
“Itu pacar Bang Diluc, ya?” Blanche mengarahkan kepalanya ke kejauhan. Beberapa meter dari tongkrongan mereka, tepat di bawah terangnya lampu taman, Diluc bersandar di tiang dengan seorang perempuan cantik dengan kuncir kuda yang khas di sampingnya.
Donna tahu betul siapa perempuan itu.
“Ah, dia,” Kata Donna, merasa canggung dengan pertanyaannya. Donna terdiam sebentar sebelum menjawab Blanche perlahan. “Katanya temen dari kecilnya Bang Diluc.”
Tapi Donna masih terus menatap kedua sosok di kejauhan itu. Mereka sedang membicarakan sesuatu dan si perempuan cantik itu mengangkat tangan Diluc dan melakukan sesuatu kepadanya. Jika bukan dari suara teriakan dari kursi di mana para senior berkumpul, Donna tidak akan bisa melepaskan tatapannya dari kedua figur itu.
“Weh, Liat tuh Diluc,” Beidou, senior satu tahun lebih tua dari Diluc, menyenggol Itto dan Thoma. “Malah berduaan dia sama Jean.”
Ungkapan dari Beidou cukup membuat beberapa mata melayang menuju kedua pasangan yang tidak menyadari beberapa mata sudah ada pada mereka.
“Itu si Jean lagi ngapain?” Thoma mengernyitkan dahi ke arah mereka. “Tangannya Diluc diapain itu?”
“OH! Pantesan si kampret gamau diobatin sama P3K tadi,” seru Itto. “Maunya sama si ayang ternyata.”
“Najis bucin,” Komentar Beidou sambil menyaksikan tontonan baru mereka.
“Kasih tau Kaeya sama Childe kali ya biar di ledekin abis-abisan,” ujar Itto dengan semangat.
“Beginian aja semangat lu, To,” Thoma menggelengkan kepala dan menatap kembali ke arah Diluc dan Jean. “Pacaran kaga, gelap-gelapan iya.”
“Thoma mulut lo,” Beidou tertawa mendengar komentar asam dari Thoma. “Selalu bener emang.”
Tawa mereka menundukkan kepala Donna semakin dalam. Blanche dan Esther, yang juga sedang menyimak obrolan sebelah, terdiam sembari menatap satu sama lain. Donna mengangkat kepalanya, berusaha untuk tidak memutar pandangannya ke arah tiang taman lagi, dan tersenyum kepada Blanche dan Esther.
“Jadi kalian besok ada kelas apa?”
Donna kembali duduk di tempat yang sama, bedanya hanya saat ini matahari begitu menyengat kulit dan juga ia hanya ditemani dua orang seniornya. Huffman, teman seangkatan Diluc, Itto, dan Thoma, duduk di sebelah kanannya, menghela asap rokok dari mulutnya sembari bermain dengan ponselnya. Orang yang duduk di hadapannya lah yang menjadi masalah.
Diluc duduk terdiam di depan Donna, memandangnya dengan tajam sambil mengetukkan jarinya ke kursi besi yang ia duduki.
"Apaan bang liat-liat?" Donna menatap balik.
“Si Eula katanya mau jadiin lo ketua seksi acara di seminar nanti,” Kata Diluc. “Bisa kan lo?”
“Ya kalo ketua acaranya aja udah bersabda gue bisa apa sih, Bang,” Donna menjawabnya, memberanikan diri untuk mengajukan eye-contact dengan orang yang diam-diam dia sukai itu. “Ga dirapatin dulu apa buat bagi jobdesk sama yang lain? Jadi ga enak gue di- plot -in sama senior jurusan sendiri.”
“Justru Eula milih lo biar lebih enak mantau progress acaranya,” Diluc membuka ponselnya dan menunjukkan Donna isi grup chat BEM mereka. “Nih, liat, gue dari tadi udah ngasih tau ada rapat ntar sore. Elu gua liat-liat buka hp terus tapi group ga digubris.”
Donna memajukan kepala untuk melihat lebih jelas isi di layar hp Diluc, saat satu notifikasi kecil muncul di atas layar dan Diluc dengan cepat menarik kembali ponselnya dari pandangan Donna.
Udah ngeliat gue siapa yang ngechat.
“Anjir, jadi malu gue ketauan jadi silent reader sama pak kabem,” cengir Donna ke arah Diluc seakan-akan ia tidak melihat apa-apa.
“Don, gue denger dari tembok BEM lo lagi deket sama anak jurusan sebelah, ya?” Huffman tiba-tiba masuk ke percakapan, memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Siapa tuh, bawahannya si Eula, Bruce kalo ga salah.”
“Tembok ga bisa ngomong, Bang.”
“Bisa kalo sama gue,” Huffman menghisap rokok sekali lagi dan melepaskan asapnya menjauhi Donna. “Lo tau ga, Luc? Masa lo Ketua BEM ga tau situasi lapangan anak-anak lo.”
Diluc mengangkat kepalanya ke arah Huffman, lalu berpindah kepada Donna. “Engga tau gue. Emang iya, Don?”
Donna mengerutkan dahi ke arah keduanya, mengabaikan tusukan jarum di jantungnya, sedikit terasa perih namun tetap berdetak. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Engga kok, Bang.”
“Boong ah lu,” Ledek Huffman sembari menyenggol ringan bahu Donna. “Gue denger dari angkatan lu sendiri.”
“Sialan emang si Anton mulut ember,” keluh Donna, menyalakan dan mematikan ponselnya yang selalu ia genggam, memikirkan kata-kata kasar apa yang harus dikeluarkan ketika ia melihat Anton nanti. “Jangan percaya, Bang, gue lagi ga deket sama siapa-siapa, kok.”
Setelah mengatakan itu, Donna menatap ke arah Diluc, penasaran dengan wajah Diluc meskipun ia sudah tahu kalau Diluc hanya melihat Donna dengan tatapan kosong. Jarum yang menusuk jantung Donna sedikit melintir di dalam.
“Emang sih, kata Anton emang si Bruce yang deketin lo,” Huffman melanjutkan. “Kata gue jangan mau, Don, sama dia.”
“Iya, jangan mau sama Bruce, Don,” Kata Diluc, setuju dengan pernyataan Huffman dengan menganggukkan kepalanya, membuat Donna cukup berdebar-debar mendapatkan pernyataan itu dari senior yang disukainya itu. “Katanya Bruce tuh tukang mabok di tongkrongannya, terkenal suka ngalus juga ke cewe-cewe jurusan lain.”
“Bener, gue ga mau lah adek-adek gue pacaran sama orang kaya gitu,” Huffman menambahi sembari mengacak-acak rambutnya.
Donna hanya mengangguk dan ketiganya lagi-lagi terdiam, masing-masing menundukkan kepala kepada ponsel masing-masing. Donna tidak melayangkan satu lirikkan pun ke arah Diluc, takut gerak-geriknya terlihat oleh salah satu dari senior yang sedang duduk bersamanya itu. Jadi, Donna hanya duduk, jarinya sibuk scrolling media sosial dengan tatapan kosong namun penuh dengan kesadaran terhadap orang yang sedang duduk di depannya.
Membuka sebuah aplikasi.
Scrolling. Scrolling. Scrolling.
Menutup dan membuka aplikasi lainnya.
Scrolling. Scrolling. Scrolling.
“Cabut duluan ya gue,” Diluc tiba-tiba membuka suara, memasukkan ponsel ke dalam tasnya dan memakai jaket jeans nya yang sudah pudar itu. “Ntar balik lagi ke sini.”
“Mau kemana lu?” Tanya Huffman.
“Gausah tau,” Gumam Diluc, merogoh tasnya dan mengambil kunci mobil sembari berdiri dari duduknya. “Duluan ya.”
“Bang Diluc,” Panggilan Donna membuat Diluc terhenti dari langkahnya dan melihat ke arahnya. Donna melambaikan ponselnya dan tersenyum lebar. “Gue udah bukan silent reader lagi, ya!”
Diluc, yang mengerti apa maksud Donna, hanya tersenyum tipis sambil mengacungkan jempol ke arah Donna sebelum menghilang ke arah parkiran kampus. Donna tahu siapa yang Diluc hendak temui, dan meskipun jarum di jantungnya masih terasa mengganjal, paling tidak notifikasi dengan namanya akan muncul di ponsel Diluc.
Donna bukan orang yang sepenuhnya baik. Meskipun ia mempunyai aturan untuk tidak melayangkan hal-hal negatif tentang orang lain, namun ia diam-diam suka mendengar gosip-gosip yang beredar seputar orang-orang di jurusannya sendiri. Donna suka berkumpul dengan teman-teman seangkatannya atau dengan senior-senior lain, mendengarkan cerita mereka tentang kehidupan orang lain, meskipun Donna tidak pernah bertanya. Jadi, ia cukup tahu banyak tentang drama yang terjadi di sekitaran kampus.
Namun, ketika drama itu menyinggung nama seseorang yang sering menghantui pikiran Donna, perutnya menjadi sedikit mual.
“Yang bener aja lo,” Ucap Eury kepada Sara, meletakkan minumannya ke atas meja kecil yang mereka tempati. “Udah jadi rahasia umum kali Bang Diluc sukanya sama yang temennya itu, yang anak HI.”
“ Jean, ” Ellin mengoreksi, kemudian kembali terdiam lagi sembari menyeruput iced matcha latte kesukaannya.
“Dibilangin, Keliatan banget Kak Eula sama Bang Diluc lagi PDKT,” Sara membalas, terlalu bersemangat untuk menceritakan gosip yang lagi hangat-hangatnya. “Si Allan yang mergokin sendiri. Kan kosan dia deket sama kosannya Kak Eula, katanya udah tiga kali mergokin Bang Diluc sama Kak Eula makan berdua di nasgor Mas Geri.”
“Tiga hari makan nasgor mulu ga eneg apa?” Komentar Alfry.
“Kan ada kwetiau sama mie juga,” Jawab Ellin.
“Oh iya, nasi gilanya Mas Geri enak juga tuh,”
“ Maksud gue tuh,” Sara menegaskan, masih kekeuh ingin melanjutkan topik tentang Diluc dan Eula. “Kan bisa aja Bang Diluc dari awal sebenernya ga suka sama kak Jean. Orang katanya udah temenan dari kecil, kalo suka pasti udah jadian dari dulu engga sih?”
“Tapi iya sih,” Glory akhirnya ikut memasuki percakapan. “Godwin juga bilang seminggu ini Bang Diluc sama Kak Eula datengnya barengan terus, naik mobil Bang Diluc. Godwin kan rajin dateng pagi, terus dia bilang tumben Bang Diluc sama Kak Eula nyampe bareng.”
“Tuh kan!” Sara menjerit kecil, terlihat otaknya berjalan untuk memasang potongan-potongan kejadian seperti puzzle . “Yakin banget gue mereka lagi PDKT!”
“Buset, Sara kalo udah masalah gosip gaada rem.” Alfry berkomentar lagi, yang kemudian mendapatkan gumaman berisik dari Sara.
“Gue denger dari Kak Amber kalo Kak Eula tuh juga sebenernya temen dari kecil Bang Diluc, Bang Kaeya, sama Kak Jean juga, kok,” Informasi yang tidak diketahui banyak orang itu dikeluarkan oleh Eury, yang dengan santai mengabaikan lima pasang mata menatapnya dengan penuh rasa penasaran. “Ga sedeket itu sih, katanya emang SD, SMP, SMA mereka sama tapi Kak Eula bukan satu circle sama Bang Diluc, Bang Kaeya, sama Kak Jean.”
“Gue taunya cuma mereka satu SMA aja,” Kata Glory.
“Gue juga,” Ellin mengangguk dan melihat ke arah Donna, yang dari awal hanya diam mendengarkan teman-temannya berbicara. “Lo tau juga, Don?”
Donna terlepas dari lamunannya, mengangkat kepalanya ke arah Ellin yang sedang menatapnya. “Engga, baru tau juga gue.”
Udah tau dari lama sebenernya , pikir Donna yang kembali melamun. Kedekatannya dengan para senior membuatnya mengetahui hal-hal kecil tentang mereka, termasuk juga tentang lingkup pertemanan Diluc. Tetapi, Donna tidak berpikir potongan informasi itu merupakan sesuatu yang cukup mengagetkan bagi teman-temannya.
“Gue sering ngobrol sama Kak Amber tapi ga pernah diceritain dah,” keluh Sara.
“Ya, males juga kali dia cerita sama lo,” Ledek Alfry,
“Ih, elu tuh daritadi–”
“Lo gatau apa-apa gitu, Don? Lo kan satu BEM sama Bang Diluc Kak Eula,” Glory bertanya dengan muka datarnya.
Lirikkan mata dari Ellin terasa panas di sebelahnya. Donna berdiam sejenak sebelum energinya akan sepenuhnya diambil oleh perbincangan ini. “Coba aja tanya si Anton.”
“Ah, Anton mah kalo cerita suka dilebay-lebayin, males gue denger dari dia,” Kata Sara dengan nada mengejek.
“Sama dong kaya elu,” Untuk kedua kalinya mata Sara membelalak ke arah Alfry, yang dibalas dengan tawa meledek.
“Ga tau sih gue,” Donna memulai, ingin cepat-cepat keluar dari perbincangan mereka. “Emang suka bareng tapi palingan ngomongin tugas kalo engga masalah BEM, selain itu gatau juga gue, ga terlalu merhatiin.”
Donna sadar Ellin masih menatapnya dengan tajam, dan Donna juga tahu Ellin mengetahui kebohongan yang sudah dilontarkan Donna.
Iya, gue selalu merhatiin .
Seraya membaca pikiran Donna, Ellin akhirnya mengalihkan pandangan kembali ke minuman favoritnya.
Malam pun masih berlanjut dan obrolan semakin seru, tetapi energi Donna rasanya sudah habis untuk nimbrung ke dalam percakapan. Jadi, Donna kebanyakan diam, mengangguk dan menjawab seperlunya, dan diam. Setelah ia akhirnya kembali ke kosan, Donna menjatuhkan diri ke kasur dan menyalakan ponselnya, memasang playlist andalannya dan membiarkan dirinya melamun diiringi lantunan lagu.
Malam di tongkrongan yang biasanya ramai, kali ini cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang berkumpul di kursi tengah untuk mengobrol, suara mereka cukup kencang tetapi tidak cukup untuk membuat tongkrongan ramai seperti biasanya. Donna berada di kursi cukup jauh dari mereka, mendengarkan Eula yang sedang menjelaskan tamu-tamu yang akan datang di acara seminar nanti.
“...Nah, tapi kata anak humas Mas Gerald bisa datengnya di atas jam 11, bisa ga lo tuker session Mbak Grace sama Mas Gerald, coba lo make sure dulu sama anak humas yang kontak Mbak Grace mau apa engga. Kalo Mbak Grace gabisa, berarti teabreak nya kita tuker aja sama…”
Donna memfokuskan konsentrasinya kepada suara Eula, mendengarkan dan mencatat hal-hal penting ke dalam catatannya yang penuh dengan coretan rundown acara mereka. Setelah mendiskusikan banyak hal, Donna berdiri untuk meregangkan leher dan memasukkan catatannya ke dalam tas.
“Kakak masih di sini kan? Aku boleh nitip tas bentar ga, Kak?”
“Kamu mau kemana emang?” Tanya Eula, sembari melepaskan jaketnya dan menaruhnya di atas tas.
“Mau ke toilet, sekalian ke ATM sebentar.”
“Oh, oke.”
Donna memang suka mendengarkan gosip yang beredar, tapi ia juga mempunyai prinsip untuk tidak menilai orang dari omongan semata. Menurut Donna, Eula memang terlihat dingin dan sulit untuk didekati, apalagi dengan junior, tetapi kesempatan untuk bekerja dalam satu organisasi dengan Eula membuka sisi lain Eula yang jarang dilihat para junior. Donna pikir gosip tentang Diluc dan Eula sedikit bodoh, mengingat tingkah laku Diluc yang berubah drastis bila sudah mengungkit seseorang.
Mungkin karena teman-teman Donna dan orang asing yang tidak begitu dekat tidak terlalu memperhatikan Diluc, sampai-sampai omongan dari mulut ke mulut berubah menjadi sebuah fakta bagi mereka, dan meskipun Donna bukan salah seorang yang termasuk dalam lingkar pertemanan Diluc dan Eula, ia tetap memperhatikan. Selalu memperhatikan . Untuk alasan yang sangat berbeda dan egois.
Tetapi perasaan mual tetap hadir entah siapapun itu yang digosipkan dengan Diluc.
Donna mencuci tangannya perlahan, melamun di tengah kesunyian di toilet dan di lorong luar. Entah kenapa rasanya malam itu begitu sepi, seakan-akan hanya ada dirinya di dalam gedung saat itu. Donna mengeringkan tangannya dan hendak memegang pegangan pintu saat suara familiar dari luar toilet memecah sepi.
“...Soalnya lo udah dua minggu ga bales chat gue, ya gue kira lo marah sama gue.”
“Dibilangin gue ga marah sama lo, gue cuma lagi sibuk aja akhir-akhir ini,”
“Ya gapapa, Je, kalo lo sibuk juga, gue ngerti, tapi minggu lalu gue liat lo lagi di Good Hunter sama si Kaeya tapi telfon gue ga diangkat, chat ga dibales, waktu di rumah si Childe juga lo hindarin gue terus, wajar lah gue ngira lo lagi marah sama gue.”
Ya Tuhan, timingnya ga pas banget ini. Gue harus transfer duit.
Donna berdiri membeku di balik pintu, masih tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Membuka pintunya atau tetap berdiri ditempat, mendengarkan. Dari suaranya, Diluc dan Jean terdengar beberapa meter dari toilet tempat Donna bersembunyi, tetapi suara mereka menggema begitu jelas di lorong kosong itu, memercikkan konflik batin yang menderu di kepala Donna.
“Engga, Diluc, gue bilang gue ga marah, cuma capek,”
Suara Diluc menghilang dalam ketukan lima detik, sebelum akhirnya ia bertanya lagi, “Udah makan, Je?”
“Udah,”
“Nanti balik jam berapa?”
“Gatau,”
“Gue anter ke kosan ya? Udah malem.”
“Gausah, gue sama temen nanti.”
“Siapa?”
“Gausah tau,”
“Jalan kaki ke kosan?”
“Gatau,”
“ Jean, please,”
Donna menarik napas dalam. Suara Diluc begitu putus asa.
“Luc, please , udahan, sumpah gue lagi capek banget dan banyak pikiran dan…” Jean terdiam sebentar. “ Please , gue pengen sendiri aja,”
“Lo gamau cerita sama gue? Lo biasanya cerita sama gue, Je.”
“Lagi ga pengen cerita aja ke siapa-siapa.”
“Tapi lo bisa cerita sama Kaeya?”
Kapan selesainya anjir gue mau transfer duit.
Donna membatin, kaki masih menempel pada lantai dan tangan masih memegang pintu dengan erat.
“Gue ga cerita apa-apa ke Kaeya,”
“Lo mau cerita ke Kaeya doang juga gapapa, Je, tapi jangan dipendem sendiri gitu dong, I’m worried about you ,”
Diam lagi.
“Udah ya, gue ditungguin temen gue,”
“Sabtu besok ikut ga ke acara ultah si Itto? Gue paginya ada urusan dulu sama Eula tapi nanti abis itu kita bisa langsung jemput lo–”
“Diluc!”
Suara Jean sampai membuat Donna tersentak kaget, sampai ia melangkah mundur dari pintu.
“Diluc, udah, please , gue harus mohon gimana lagi until you leave me alone ,”
Sebuah hentakan, lalu langkah kaki.
“Maafin gue, Je,”
Kemudian sunyi.
Donna membiarkan dirinya untuk berdiri selama 7 menit lagi, sebelum akhirnya ia perlahan membuka pintu toilet dan melihat lorong kosong yang panjang. Kepala Donna bergemuruh dan jantungnya berdebar kencang, mengutuk nasib yang membuatnya berdiri di posisi ini, yang membuat dia, Donna , menjadi seorang saksi tanpa izin.
Donna menghela napas paling panjang dalam hidupnya, merasa seluruh energinya menghilang dari seluruh tubuhnya. Getaran ponsel di genggamannya tidak berhenti dari tadi dan Donna masih belum berniat mengeceknya.
Lima menit lagi .
Dan lima menit itulah yang dibutuhkan Donna untuk memasang topengnya kembali. Otaknya mulai kembali bekerja, merangkai berbagai rencana apa yang ia ingin lakukan nanti. Cepat kembali ke kosan. Mandi air hangat. Beli coklat di minimarket. Makan es krim yang sudah ia simpan dari seminggu yang lalu. Menyalakan playlist andalan. Mematikan lampu. Menyembunyikan diri di balik selimut.
Donna menghela napas sekali lagi dan mulai melangkahkan kakinya.
Gue belom transfer duit.
Perasaan lainnya bisa menunggu.
Hari itu akhirnya tiba.
Donna kembali lagi berdiri seorang diri di tengah keramaian, memegang bundelan buket bunga mawar merah dan suvenir untuk kenang-kenangan. Teman-temannya berpencar untuk memberikan buket bunga ke masing-masing senior yang lulus, ramai-ramai mengucapkan selamat dan merayakan hari berbahagia itu. Tinggal satu buket yang tersisa dan orang yang seharusnya mendapatkannya belum muncul juga.
Di tengah kerumunan, canda dan tawa, sorotan kamera, mata Donna sibuk mengamati kemunculan seseorang.
“Don, tuh,” Ellin menyenggol bahu Donna, memberi sinyal dengan kepalanya ke arah jam dua. Dan saat itulah sorot mata Donna berkilau. “Lo yang kasih bunganya, cepet, sebelum angkatan kita liat,”
Dan lalu Donna melangkahkan kaki ke arah Diluc yang sedang dikerubungi teman-temannya, tertawa dan tersenyum sangat lebar, sambil memegang tas yang penuh dengan bunga dan hadiah.
“Bang Diluc,” Panggil Donna, mengarahkan perhatian Diluc padanya. “ Happy graduation !”
Donna menyodorkan sebuah buket penuh dengan mawar berwarna biru, tidak lupa disertai dengan senyum lebar.
“Wih, dari angkatan lo ya,” Diluc tersenyum hangat ke arah Donna, mengambil buket bunga itu dari genggaman Donna. “Makasih banyak ya, Don, semoga cepet nyusul.”
“Sering-sering main ke kampus ya, Bang, jangan sombong kalo udah kerja,”
Diluc tertawa. Senyum Donna semakin lebar melihat tawa yang begitu hangat. Sebuah tawa hanya untuknya.
“Gue usahain ya,”
Kemudian orang lain mulai berdatangan dan Donna pun mundur perlahan dari tempatnya.
Semenjak malam itu, Donna tidak memikirkan perasaannya lagi. Donna masih sering mencuri pandang ke arah Diluc dan Donna juga masih suka menunggu sosoknya. Kadang ia sedikit berkhayal, tapi tidak lebih dari yang semestinya. Donna masih suka mencari tahu tentang keberadaannya, mendengarkan gosip dari orang-orang, memperhatikan setiap gerak-geriknya, melihatnya tersenyum karena satu dan lain hal. Selama itu, Donna tidak mengubur perasaannya, karena menurutnya kadang apa yang ia kubur bisa tumbuh menjadi sesuatu yang besar, jadi Donna hanya menerima apa yang ia rasa dalam diam dan membebaskannya, tanpa tahu kemana perasaan itu akan membawanya.
Saat Donna hendak pulang, ia melihat Diluc dan Jean, sama-sama mengenakan toga dan berpose bersama dengan senyuman yang tiada tandingnya. Tangan Diluc merangkul Jean dengan erat sambil menggenggam sebuah buket bunga yang familiar. Bunga mawar biru yang diberi Donna.
Di suatu tempat di dalam dirinya, Donna masih merasakan tusukan jarum itu, tetapi ganjalan itu Donna bawa dengan hati lapang. Apapun yang ada di antara Diluc dan Jean, dimanapun, kapanpun, Donna, sebagai orang asing yang hidup di dunia yang berbeda, selalu mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua.
Kemudian, Donna melanjutkan langkah kakinya keluar dari pandangan.
Itu bunga gue sendiri yang beli.
