Actions

Work Header

lycaon heat case

Summary:

Tiga janin tumbuh dalam tubuh Lycaon, dan setiap detik kehamilan itu menggerus batas antara empati dan kegilaan. Ia, seorang omega, dulunya percaya bahwa keahlian itu bisa menjadi alat investigasi──tetapi kini, tubuh itu membelot. Basah oleh hormon, ditarik mimpi buruk, dan hancur oleh harapan yang terlalu berat.

Hugo tetap tinggal. Mencintainya. Tidak ada kata yang cukup untuk menjelaskan rasa sakit dari gigitan itu, selain; melepaskan. Melepaskan luka lama, rasa takut, dan pengasingan. Melepaskan semua yang Lycaon tahan agar bisa berkata; aku milikmu.

Notes:

Jujur, aku ada terinspirasi dari selesai nonton Hannibal, hshs.

Awalnya cuma mau buat ABO aja, pokoknya kudu HugoLyca. Tapi bayangin Lycaon mau jadi detektif, terus Hugo cuma ngekorin, ngga jelas mimpinya apa, somehow ... lucu. Jadi deh, fan fiksi ini. Semoga suka! Kalau ngga akan suka, jangan mulai baca, okie?

Dan, jaga-jaga bila ada beberapa tagar peringatan yang aku kelupaan, tolong bantu ingatkan bila berkenan, yaa! Sama, kalau ada typo, maafkan. Aku ngga proofread banyak, nulis ngalir aja, pokoknya mau HugoLyca. : D Anyway, selamat membaca!

Chapter Text

Aroma penuh simpati. Rasa didekorasi luka.

Itulah yang menguar dari tubuh Lycaon── omega yang lebih sering menahan daripada melucuti.

Omega lain memakai inhibitor; obat kimia yang katanya mampu meredam estrus . Pastinya, tentu saja. Tetapi Lycaon? Tidak meminumnya . Sebab menurut dia, obat seperti itu tidak lebih dari alat pengekang yang terlampau sering dipaksakan pada omega.

Oh, kendati begitu, dia tidak menggunakannya bukan karena dia bangga menjadi seorang omega. Bukan pula karena dia menyukai masa estrus yang sering kali datang tiba-tiba bak musim hujan yang menggagahi pondasi rumah. Bukan.

Dia justru membencinya.

Dia benci kenyataan bahwa, perasaan yang dia miliki── indera simpati, intuisi tajam, banjir empati yang berdenyut terlalu peka ──bekerja paling intens saat kala tubuhnya tengah terbakar.

Namun tenang, Lycaon itu tahu konsekuensi, dia tahu harus bagaimana ketika itu terjadi, dan dia selalu bertahan── atau, sekurang-kurangnya, dia berusaha untuk selalu siap . Dia percaya bahwa, semua itu ialah berkah tersembunyi dari apa yang tubuhnya mampu beri.

Lalu, bagaimana Lycaon menghadapinya?

Sederhana. Dia akan mengunci diri dalam kamar kosnya secepat yang ia bisa. Dia akan bertahan sendirian selama masa estrus dengan memeluk tubuhnya di bawah selimut. Dia akan menggertakkan gigi sepanjang malam ketika panas itu datang. Setelah itu berlalu, dia akan tidur dua sampai tiga hari penuh guna memulihkan diri dari kehilangan banyaknya cairan.

Teman-teman kosnya── beta ──akan membantu Lycaon semaksimal mungkin ketika itu terjadi. Sebab feromon hanya mengguncang alpha serta omega, maka bantuan dari beta sudah lebih dari cukup untuk sekadar menjaga suhu air, menutup jendela, atau menunggunya dari luar kamar.

Sejauh ini, Lycaon selalu berhasil. Karena itu, kepercayaan dirinya meningkat. Dia merasa bisa mengendalikan semuanya, dan dia memutuskan untuk memanfaatkan tubuhnya semaksimal mungkin.

Untuk sesuatu yang lebih besar.

Untuk sesuatu yang bermakna.

Masuk ke jurusan kriminologi bukan soal estetika atau gaya hidup. Itu keputusan. Sebab dia ingin menjadi detektif, ingin berada di tempat kejadian, ingin menyusun kembali potongan-potongan penghuni bumi yang dirusak dengan niat jahat. Bukan karena dia ingin menjadi pahlawan. Tapi karena── anehnya ──dia merasa bisa.

Bisa merasakan. Bisa mengerti. Bisa menyentuh sisi terdalam serta tergelap dari kekejaman itu dan menarik kesimpulan rasional. Sebuah keahlian yang menyakitkan. Keahlian yang menguras nyawa.

Masalahnya, tubuh Lycaon lambat laun mengkhianati tekad yang ia dekap.

Dia mulai kesulitan setiap kali dia tiba di lokasi kejadian. Aroma darah serta jejak tragedi menjadi terlalu tajam hingga menembus bagian belakang penciumannya. Menusuk langsung ke tempat paling sensitif di kepalanya. 

Feromon Lycaon bocor, pikirannya memanas, tubuhnya menjadi lebih reaktif. Lycaon bukan hanya terpengaruh, tetapi juga terserang secara mental. Simpati yang mula-mula ia miliki sebagai seorang omega justru menjadi pisau bermata dua. Terutama, ketika tugas yang ia tangani menyangkut orang-orang yang paling rentan.

Beberapa minggu terakhir, Lycaon mulai sering absen dari kelas. Tubuhnya kacau. Kerap kali keringat dingin, tidak bisa tidur, perut berdenyut pelan tanpa sebab. Dan, dia masih menolak inhibitor. Dia menolak istirahat pula. Dia tidak mau mengalah. Tidak pada tubuhnya. Tidak pada sistem.

Tidak peduli bila masa estrusnya semakin tidak stabil, datang tak kenal waktu. Kadang hanya berselang dua minggu dari sebelumnya. Kadang terlalu lama dan membuatnya demam karena penantian yang tidak pasti. Dadanya, pikirannya, perutnya semua campur aduk. 

Kecemasan Lycaon terus-menerus menumpuk. Tak hanya itu, feromon di bagian kelenjarnya kian bocor, membuat alpha di sekitar gelisah setiap kali dia ada di kampus atau di kelas kepolisian.

Tidak banyak yang bisa Lycaon lakukan. Ketika dia pikir, dia mampu menanggung cekamannya, ternyata keadaan tubuh berkata lain. Pun, dia tidak bisa bicara pada siapa-siapa mengenai itu. Tidak pada tiga temannya sekalipun, atau Rina── beta yang selalu duduk di sebelahnya sejak semester satu, sekaligus salah satu dari ketiga yang berada di bawah naungan kos yang sama .

Bukan karena dia tidak percaya. Lebih karena, … dia tidak yakin layak dikhawatirkan . Syukurnya Rina bukanlah puan yang mudah dibodohi. Dia sadar teman dekatnya berubah. Dia sadar ada masalah. Tidak perlu masa estrus untuk tahu, tidak perlu menjadi omega untuk menyadari . Dia sudah cukup cerdas untuk tidak berpikir dua kali.

“Kamu kenapa, Caon?” Tanya Rina sewaktu memindai kertas foto TKP pembunuhan yang menjadi tugas kelompok di hari itu, “diem melulu, nggak kayak biasanya. Terus, aku dengar dari omega di belakang kita, katanya feromon kamu … nyebar terus dari tadi.

Lycaon tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan dan memutar pena di jarinya. Peluh membasahi tengkuk, mengalir ke punggung. Pandangannya nyaris buram, tidak fokus melihat papan di depan atau kertas di meja. Gambaran tubuh korban di tempat tidur pada foto berbaur dengan rasa sakit yang menusuk perut bagian bawahnya.

Dan, Rina terlalu khawatir. Puan tidak menunggu penjelasan, tidak butuh untuk saat ini . Dia tahu Lycaon tidak akan cerita. Jadi dia menarik ponsel dari saku celana, membuka kontak, dan mengingat-ingat satu nama yang sempat beberapa kali diceritakan Lycaon dulu── teman SMA-nya .

Hugo Vlad.

Puan tidak menghubungi Hugo, akan tetapi, puan tahu siapa yang bisa. Dikirimnya pesan pada Wise dengan segera; ketua BEM di kampus mereka . Dan menyerahkan masalah itu ke tangan orang yang lebih tegas. 

Wise mengerti. 

Dia tidak banyak mengetik. Dia hanya membalas pesan Rina dengan satu kalimat pendek;

“Biar aku urus ya.”

Dua hari kemudian, Hugo mengemuka , duduk di sebelahnya.

Begitu saja.

Lycaon tidak langsung sadar ketika dia── akhirnya ──memaksa diri masuk kelas siang itu. Namun, penciumannya lebih dulu tahu feromon anggur merah tua itu. Tahu aromanya. Tahu rasanya; hangat, tajam, kental, dan memberi rasa dengan cara aneh .

Feromon yang sudah tertanam lama di memorinya. Terlalu dalam untuk dia lupakan. Dua tahun terakhir ini, dia terus mencoba mengingatnya, menyimpan rindu dalam diam, atau sekadar menyesali perpisahannya.

“Pindah jurusan?” Tanya Lycaon, pelan, setelah kelas selesai.

Hugo hanya mengangkat bahu dan menjawab seraya mengukir senyum, “yah, katanya kriminologi lebih butuh orang sabar. Aku kan sabar banget.”

Sabar?

“Buat ngurus kamu, maksudnya.”

Lycaon buru-buru menoleh, melihat Hugo yang sama sekali tidak menatapnya balik. Lelaki itu justru sibuk membuka botol air, seolah-olah ucapan barusan tidak lebih dari lelucon enteng yang bisa saja menguap bersama embun.

Tapi bagi Lycaon, itu bukan lelucon. Itu seperti sengatan yang perlahan menjalar ke tengkuk, lalu turun ke seluruh tulang belakangnya.

Mungkin karena feromon anggur merah itu.

Mungkin karena kehadiran Hugo.

Atau, mungkin karena tubuhnya sendiri tahu bahwa masa estrus berikutnya sudah dekat .

Dan kali ini, dia tidak akan sendirian.

Chapter Text

Sinar dari cahaya senja menyelinap melalui kaca jendela, melukis ruang kelas dengan semburat keemasan yang tenang. Suasana terasa lengang, meski masih banyak mahasiswa yang tersisa. Beberapa sedang berdiskusi di bangku belakang; sisanya duduk terdiam, tenggelam dalam tumpukan dokumen foto forensik yang menanti diurai .

Di antara semuanya, duduklah Hugo dan Lycaon.

Sekilas, tidak ada yang berbeda pada pandangan pertama, keduanya tampak seperti rekan kerja yang serius; buku terbuka, peta TKP terbentang di atas meja, dan catatan berisi perbandingan waktu kematian serta reka kejadian tersebar di tangan mereka . Namun, atmosfer di sekitar terasa senjang. Menggelegak. Sunyi. Sesak oleh sesuatu yang tidak terucap.

Mana lagi, feromon Lycaon masih belum stabil .

Aroma susu samar itu, manis dan menggoda, terus-menerus merembes dari kelenjarnya walaupun masa estrus telah usai dua hari lalu. Itu bukan kebetulan── Lycaon tahu betul bahwa tubuhnya lagi memberontak . Ia belum pulih sepenuhnya, dan tekanan dari tugas pembunuhan ini tidak layak untuk membantu mengendalikan respons biologisnya.

"Kamu sadar ngga, feromon kamu makin kuat?"

Hugo memecah hening, tanpa peringatan. Ia mencondongkan tubuhnya, menyisipkan selembar foto korban ke tengah bagian berkas, lalu menatap Lycaon dengan senyum ringan yang menyebalkan── senyum khasnya .

Lycaon mendengus pelan, “ngomongin yang lain aja deh, aku lagi coba konsen.”

"Justru itu. Kamu terlalu konsen," Hugo mengangkat alis, membalas cepat, sedikit condong mendekat, "makin kamu fokus, makin kamu cemas, makin feromon kamu ngga kekontrol, Lyca. Kalau gini terus, anak-anak alpha di kelas bisa hilang kendali, loh.”

"Makanya aku duduk jauh."

"Kamu sadar itu ngga ngebantu, kan?" Sahut Hugo dengan enteng, "cuma karena kamu duduk di ujung, bukan berarti aromanya tiba-tiba ngga kecium." Nadanya tajam.

Lycaon menahan desahan lelah. Kadang, eksistensi Hugo tak ubah sembilu kecil. Bukan karena dia menyakitkan, tetapi karena Hugo terlalu menohok, terlalu dekat, dan terlalu sadar akan segalanya yang terjadi dalam diri Lycaon. Singkatnya, terlalu tahu .

"Serius deh. Aku ngga bercanda,” Hugo melanjutkan, kali ini nadanya lebih lembut, “aku tau kamu ngerasa harus kuat terus. Harus tanggung semuanya sendiri. Tapi Lyca, ini tugas kasus pembunuhan gadis yang ditata kayak lukisan cat minyak, ‘kan? Korban rentan, penyusunnya artistik, manipulatif. Ini bakal ngaruh banget ke kamu.”

Lycaon diam. Tangannya mengepal di atas kertas catatan. Hugo benar, dan itu yang paling menyebalkan.

Selama ini, Lycaon memilih untuk bertahan sendirian karena yakin dirinya cukup kuat. Tetapi sejak tugas ini datang── sejak aroma manis dan busuk dari korban-korban itu membekas di rongga penciumannya saat ia melihat langsung tempat kejadian ──ia merasa seperti ditelanjangi dari dalam.

Dia diminta untuk memahami perasaan pelaku. Mencari tahu apa penyebab dan motif di balik aksi tersangka. Pun, dia diwajibkan mengamati setiap bagian yang  ada dalam potret TKP guna mempelajari pikiran pelaku. Berat. Lycaon tahu, ini konsekuensinya .

Diam-diam, Lycaon menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Hugo. Itu tidak berarti apa-apa. Murni karena kenyamanan. Atau, begitulah yang ingin ia yakini .

Hugo tidak berkata-kata. Ia hanya membuka satu lembar baru berisi transkrip laporan otopsi dan menyerahkannya ke Lycaon. Lantas, di sela hening yang menjalar, ia bersuara pelan, "feromon kamu mulai kembali netral. Kayaknya emang bener, harus sering-sering nempel ke aku deh."

Lycaon menoleh pelan, “aku nggak ngerti kamu ngomong apa,” dia paham. Dia tahu. Dia cuma gengsi, “bisa nggak fokus aja sama tugas?”

"Ngga bisa,” jawab Hugo ringan, “aku di sini bukan buat fokus tugas kelas. Tugas aku jagain kamu. Sisanya mah bonus.” 

Hugo menyeringai tipis. Permatanya menyapu wajah Lycaon yang berusaha menjadi tidak terbaca.

"Aku bukan alpha terbaik di kelas ini, tapi … aku paling bisa bikin kamu tenang, jadi kamu aja yang fokus. Toh, aku bakal dapet nilai juga kan."

Dan ia benar. Sialan .

Lycaon tahu tubuhnya. Ia juga tahu bahwa ketenangan yang dibawa Hugo bukan sekadar status alpha-nya saja, melainkan karena ... kedekatan . Karena memori. Karena cinta lama yang belum padam sepenuhnya.

Atau mungkin karena harapan, yang tak kunjung ditegaskan.

Seketika, Lycaon membalik halaman dokumen di hadapannya. Jantungnya berdegup cepat saat ia kembali melihat foto dari tubuh gadis muda yang lebih dekat lagi pemotretannya. 

Permata Lycaon mengunci fokus. Tangannya kaku. Dia tidak sanggup menulis apapun untuk menuang kajian. Dalam sekejap, tubuhnya terasa panas.

Tepat saat itu juga, Hugo menggenggam erat telapak tangan Lycaon. Feromonnya ia tuang lebih banyak, lebih kental. Tidak ada paksaan, hanya ketenangan yang sengaja ia bagi; sehembus pelukan aroma untuk meredakan omega yang sedang diserang panik .

Lycaon menoleh. Pandangannya berkabut. Cairan lengket mulai terasa di antara paha. Dia tahu, ini bukan hanya kecemasan yang tiba-tiba. 

Ini estrus yang datang jauh lebih awal. 

Heat yang menyerbu di saat dia paling tidak siap. Jelas tidak siap . Lycaon baru selesai heat dua hari yang lalu. Dan sekarang, heat lagi? Gila. Dia bisa gila.

“Lyca,” suara Hugo lembut, pelan, hampir seperti doa.

Lycaon menarik napas dalam-dalam. Dia biarkan feromon Hugo memenuhi ruang dalam paru-parunya segera. Aroma hangat, raksi aman, serupa jaminan.

“Hugo,” balasnya lirih berupa panggilan. 

Hugo di samping tidak langsung memberi papar. Dia lebih dulu menatap penuh perhatian selang beberapa waktu, sebelum menarik napas pula, “aku tau ini ambisi kamu,” jawabnya, tenang, “tapi, apa yang kamu alami sekarang lebih penting dari itu.”

“Aku tau,” Lycaon berbisik, “tapi tetep, ambisi aku itu tanggung jawab aku. Aku nggak mau berhenti di tengah jalan.” Jelasnya. 

Dia lepas genggaman tangan Hugo dan kembali melihat ke potret korban. Dia biarkan pemikirannya melesak masuk ke dalam kronologi peristiwa. Imajinasi yang menusuk tak ubah tembusan belati. 

Lycaon bayangkan;

Seorang pria── tinggi, kurus, air muka tenang ──mengetuk pintu rumah korban dan disambut ramah. Pelaku melangkah masuk selayaknya tamu biasa. Korban tak mengenal baik, tetapi teman serumah korban mengenalnya; seorang dokter pribadi sekaligus sahabat .

Korban suguhkan teh untuknya sekaligus memberitahu bahwa, temannya akan pulang larut. Pelaku hanya tersenyum saat mendengar. Dia dekatkan wajah ke telinga korban tak lama kemudian.

‘Aku mencari kamu.’

Detik itu jua, korban tertegun, lalu ketakutan. Dia berbalik, berlari ke kamar tidur, mencoba mengunci pintu. Tetapi, sayang, tubuh lelaki itu jauh lebih kuat. Daun pintu dapat hancur dengan mudah.

Pelaku seret korban seraya membisikkan pengakuan cinta yang salah kaprah. Lantas, pelaku keluarkan sapu tangan basah berisi eter. Dalam hitungan detik, korban jatuh lemas.

Ditatanya tubuh korban di atas ranjang. Dibuat seindah mungkin, seumpama taman. Karangan bunga berduri menghiasi kepala korban. Luka sayatan terukir rapi. Ginjal direnggut kala korban masih hidup. Rahim disisihkan, diganti dengan organ yang bukan milik korban.

‘Gadis ini tidak bersalah,’ pesan dari pelaku, ‘tetapi aku ingin dunia tau, perasaan cinta juga bisa mengambil nyawa.’

Lycaon tersentak keluar dari bayangannya. Otot paha kian mengejang. Tubuh Lycaon gemetar. Celana dalam katunnya mulai basah tak karuan. Heat yang tadi ia kira dapat ia tahan dan manfaatkan untuk melihat lebih banyak, sekarang mulai terasa nyata, mengganggu.

“Ayo, pulang.” Hugo berkata. 

Dia tidak repot-repot membenahi meja atau tas. Dia langsung menarik lengan Lycaon, membopongnya keluar dari kelas, dan menyusuri kampus hingga menuju kos── tempat tinggal Lycaon di seberang universitas.

Lycaon hampir tidak bisa melangkah, tetapi dia tidak menyeru protes jua.

“Aku udah bilang,” bisik Hugo, sempat-sempatnya sebelum pintu kamar Lycaon ditutup, “ ini lebih penting dari ambisi kamu.

Chapter Text

Hugo ingin sekali menggigit kelenjar feromon Lycaon saat itu juga ── mengoyaknya dengan taring, lalu menjulurkan lidah ke dalam luka basah.

Dia ingin mencicipi denyut dari dalam Lycaon, karena dia yakin; darah yang mengalir dalam tubuh pemilik bulu putih itu tidak mengandung karat. Hanya cairan lembut yang bisa membuatnya lembap .

Feromon susu meledak, menari liar bagai doa yang kehilangan Tuhan. Kamar kos Lycaon── yang semula bersih dan hanya penuh dengan feromonnya ──berubah menjadi sarang perburuan. Tempat dua tubuh yang paling berlawanan saling menjerat dalam satu ikatan.

Sayu sekali Hugo memperhatikan Lycaon yang sudah berbaring di atas ranjang. Taring tuan menyembul, seolah siap memangsa. Kendati demikian, dia memilih untuk tetap menjaga jarak. Melindungi Lycaon dari tangannya, dari bibirnya, dari kebutuhannya.

Tentu, Hugo dapat membayangkan sejuta hal, namun keputusannya sudah dibulatkan mendadak beberapa saat lalu. Dia tidak akan menyentuh Lycaon sebelum Lycaon memberi izin. Cukup satu kata, sebuah persetujuan untuk segala-galanya.

Ditelannya air liur banyak-banyak guna membungkam nafsu. Hugo duduk di pinggir ranjang, diam selayaknya penjaga batu nisan, hanya hingga Lycaon meraba ke udara dengan satu tangan.

“Hugo ..”

Tubuhnya yang terlalu panas buat panggilannya terdengar lirih. Napas Lycaon mulai pendek. Geliatnya pun tampak padat dengan kegelisahan.

“Aku di sini,” sahut Hugo. Tangan kanannya bergerak menyentuh pipi Lycaon, lalu turun dengan hati-hati untuk memegang dagunya, “kamu kelihatan payah banget.” Godanya.

Tidak sepayah itu kok . Meski sedang diserang masa estrus, Lycaon tetap waras. Gelagatnya tidak memberi unjuk kegilaan yang lazim dimiliki seorang omega kala berada di bawah pengaruh heat . Mungkin karena Lycaon memaksakan diri terlampau jauh.

“Jangan mancing,” bisik Lycaon sebagai balasan. Dia sambut suara Hugo yang dalam, hangat, dekat itu dengan menggenggam punggung tangannya, “jangan kemana-mana.” Pinta Lycaon kemudian.

“Aku mau ambil air dulu.”

“Enggak mau,” pegangan tangan Lycaon menguat, “aku nggak mau minum.”

Dia itu sudah hampir mabuk karena panasnya estrus. Keberadaan Hugo di dekatnya cukup meredakan nyeri dalam perut, sedikit . Sangat sedikit sehingga dia tidak kuasa mengambil resiko dengan membiarkan Hugo menjauh; tidak untuk mandi, tidak untuk pipis, tidak pula untuk menyiapkan minum .

“Kamu betulan payah banget,” gumam Hugo. Dia urungkan niat untuk berdiri dan membalas genggaman tangan Lycaon, “kayak domba yang siap disembelih.” Senyumnya mengembang. Begitu khas, begitu menawan untuk Lycaon yang mengunci atensi padanya seorang.

“Aneh banget perumpamaannya,” dia balas dengan menarik napas, “tapi aku emang . . siap. Selama itu kamu.”

Bukan siap untuk disembelih. Siap kalau-kalau Hugo ingin melakukan sesuatu terhadapnya.

Lycaon bahkan siap bila Hugo ingin mengoyak kelenjar feromonnya. Dia siap dimiliki. Dia siap memiliki. Jika saja dia bisa mengatakan lebih rinci, dia akan. Masalahnya, Lycaon tidak tahu, apakah Hugo menginginkan hal yang serupa?

Mereka kini saling menatap. Binar pada permata merah Hugo semakin menyala, sementara ratna abu-abunya meredup dari limpahan aroma tubuh Lycaon yang terus mengirim sinyal seakan memohon untuk ditangkap.

Leher Lycaon basah. Tengkuknya kian membengkak. Aroma feromon Lycaon bukan lagi susu manis, melainkan madu mendidih. Raksi Lycaon tercium seperti minta dikuliti. Dan Hugo, sebagai alpha , mengetahuinya.

Tidak ada aba-aba. Tidak ada kalimat ‘boleh’ atau ‘jangan’ Hanya detik sunyi di mana Lycaon menarik kerah Hugo dan menciumnya dengan kasar, haus.

Hugo membalas ciumannya. Ia tautkan ranum dengan sabar, membuka mulut Lycaon dengan hati-hati, dan menjelajahi bagian dalamnya dengan nafsu. Air liur saling bertukar── saling membasahi lidah, gigi, tenggorokan .

Feromon kuat sang alpha, saat ini, berpadu dengan manisnya seorang omega.

Lycaon kaitkan salah satu tangannya di leher Hugo, dan Hugo separuh menindih Lycaon di atas ranjang. Dia berlutut dengan satu lutut di antara kedua kaki Lycaon. Bibir terus memadu pagut, lidah saling bertaut. Daging tak bertulang itu Hugo julurkan ke dalam rongga mulut Lycaon dan ia miringkan kepala guna memperdalam ciuman agar Lycaon dapat menelan lebih banyak lagi air liurnya.

Sebagian kecil meluap, meluncur turun dari lekuk sudut mulut ke leher Lycaon, tetapi, tidak lama kemudian terserap kerah rompi, menghilangkan jejak.

Tangan Lycaon yang bebas segera memainkan kancing kemeja Hugo. Namun, jari-jemarinya terlalu gemetar sehingga tak mampu menuruti sedikit pun keinginannya. Dia tak kuasa membuka kancing pakaian Hugo. Satu-satunya yang masuk akal untuk ia lakukan hanyalah mengeluarkan erangan rendah dari kedalaman tenggorokannya, tidak sabar, ingin Hugo telanjang.

Diselingi tawa pelan karena menyadari rasa frustasi yang Lycaon miliki. Hugo mencengkeram tangan Lycaon dan menaruhnya kembali ke ranjang.

“Biar aku,” katanya. Dia buka kancing rompinya satu per satu, dimulai dari atas dengan lamban, sengaja. Dia buat Lycaon tambah mengerang, memperlihatkan tidak sabarnya secara gamblang. Tangan Lycaon kemudian bergerak, tak mau diam terutama saat Hugo membuka kancing rompinya. Mengekspos dada untuk Lycaon usap sebelum turun ke pakaiannya sendiri.

Dia tanggalkan pakaiannya yang sudah mulai basah dengan peluh. Dia biarkan Hugo membantunya dalam posisi masih berciuman.

“Aku butuh kamu sekarang,” desis Lycaon, mencari kesempatan di antara sela taut antar ranum. Suaranya serak, rendah.

“Aku tau,” balas Hugo, memandang lurus ke permata Lycaon yang sudah penuh dengan gairah, “aku dengar dari napas kamu.”

“Jangan ngeledek.”

Ciuman mereka pecah. Hugo tarik kaus Lycaon dan membuangnya. Dia turunkan kedua tangan untuk membuka ikat pinggang Lycaon sebelum melempar ke lantai. Denting logam lekas terdengar, diiringi lenguhan dari Lycaon yang begitu sensual, bermelodi.

Haah . . Hugo── ” Panggilnya.

Kali ini, Hugo tidak menjawab. Alih-alih, dia mencium pundak Lycaon, ke tulang selangka, ke sisi leher untuk digigit. Deretan giginya menancap. Taringnya menembus lapisan kulit, mengubah erangan Lycaon menjadi ringisan menahan sakit.

Dia tarik surai Hugo, tetapi tidak menghentikannya. Dia tahan perih yang datang dan membiarkan gigi Hugo tertancap lama.

Mmhh── ” Mata Lycaon kembali terpejam. Jari-jemari Hugo bergerak turun ke bawah, menyapa liang yang sudah sangat basah dengan jari tengah. Feromon anggur merah kini menguar lebih pekat bersamaan dengan tanda merah ke-ungu-an yang Hugo tinggalkan di leher Lycaon. Tidak di kelenjar── belum .

“Feromon kamu,” ucap Lycaon, tersengal, “aku mabuk, Hugo . .” Pernyataannya datang seraya pinggang terangkat demi mempermudah dua jari Hugo── tengah dan telunjuk ──masuk ke dalam lubangnya.

“Maaf, Lyca,” balas Hugo. Dia sapu bibir Lycaon dengan lidah sebelum menaruh kecup menenangkan, “mau istirahat dulu?” Tanyanya kemudian.

Jelas, tampak sekali kekhawatiran pada paras wajah Hugo ketika ia mendekatkan wajah dan menatap Lycaon. Walau demikian, Lycaon enggan berhenti. Tidak ketika dia dapati feromon Hugo yang berangsur membuatnya terlena. Tidak ketika dia dapati hembusan napas hangat Hugo menerpa wajahnya.

Ah , Lycaon jadi ingin sekali menyatakan kedaulatannya atas Hugo kepada semua orang.

Tetapi, dia tidak bisa sebab, dia bukan omega Hugo.

“Enggak mau,” sahut Lycaon, “jangan berhenti.” Pintanya, lagi .

Permata Lycaon, dalam sesaat, menjadi lebih gelap. Dan, Hugo melihatnya. Dia selalu sadar, dia selalu tahu. Oleh sebabnya, dia condongkan tubuh guna mencium kelopak mata Lycaon yang indah itu.

“Aku ngga akan berhenti kalau gitu.”

Konsentrasi feromon mereka semakin lama semakin keruh. Lidah Hugo kembali terjulur, kali ini untuk menjilat dagu Lycaon yang terangkat lalu jakunnya sebelum menjalar ke bawah, ke dada yang penuh bulu, dan ke puting susu yang menegang merah.

Ia gigit bagian ujung yang paling sensitif. Tangan kirinya membelai pinggang telanjang halus Lycaon, jari telunjuk serta jari tengah tangan kanannya tanpa ampun melebarkan dinding liang Lycaon.

Hari ini, Lycaon ialah santapannya, miliknya.

Hugo pindahkan salah satu kaki Lycaon ke bahu. Dia tarik jari-jemarinya yang sudah basah itu guna melihat lubang yang mulai meregang, merah muda. Permatanya yang mula-mula berbinar perlahan menjadi lebih gelap, seakan ingin menyaingi warna mata sebelahnya. Dia saksikan pula penis Lycaon yang sudah menangisi cairan pra-ejakulasi itu selagi mengarahkan kepala kemaluannya ke depan lubang Lycaon.

“Masuk … Hugo── masukin .”

“Mhm,” deham Hugo. 

Tidak langsung dipatuhi. Alih-alih, dia mencium bibir Lycaon satu kali lagi; ciuman lembut, memberi ketenangan, mengalihkan . Taut antar ranum yang membuat Lycaon secara sukarela lebih mengangkang lagi.

Sebab keleluasaan itu, Hugo dapat mulai membenamkan penisnya ke dalam liang Lycaon. Besarnya meregangkan selaput anal. Panjangnya terkubur perlahan hingga usus yang licin melilit. Disambutnya panas dari heat Lycaon dengan desahan kala Hugo membenamkan seluruh ereksinya dalam-dalam.

Hh── enak banget, Lyca.. ” Tuturnya. Rasanya sempurna; berada di dalam lubang omega yang ia suka .

Ciuman kembali terputus. Hugo menundukkan kepala tepat di samping wajah Lycaon kala ia nikmati setiap inci yang memijit kemaluannya. Satu tangan Hugo menopang tubuhnya sendiri ──tidak ingin terlalu menghimpit . Sementara tangannya yang lain berpindah dari pangkal ke pinggang Lycaon.

Rasanya sempurna; berada di dalam lubang omega yang ia suka .

Mmh, ” Lycaon melepas lenguh, merasa penuh. Kendati begitu, dia tidak terburu-buru terlena pada kenikmatan yang Hugo beri. Satu tangan Lycaon terangkat, mengusap puncak kepala Hugo dengan hati-hati, “ enak banget, Hugo … ” ucapnya, beri persetujuan dalam bentuk apresiasi.

Rasanya rampung; diisi oleh alpha yang ia suka .

Senyum mengembang samar tatkala Hugo terima usapan tangan dari Lycaon di kepala. Kedua tangannya kini mencengkeram pinggang Lycaon, menahan posisi tubuh sang omega yang lambat laun melengkungkan punggung dan mengangkat pinggul sebelum ia tarik kemaluannya untuk kemudian ia dorong kembali dengan keras.

AAHH── Hugo . . ! ! Jeritnya, refleks. Lycaon pindahkan tangannya dari kepala Hugo menuju ke bagian atas kepalanya sendiri. Ia remas seprai kuat-kuat begitu merasakan kepala penis Hugo yang tebal menghantam kelenjar tersembunyi di bawah dinding ususnya.

Erangan keras keluar dari mulut Lycaon, mengalun di setiap benturan yang datang dari kemaluan Hugo dalam lubangnya. Tangan Lycaon mulai gemetar, cairan pra-ejakulasi di penisnya mulai menangis lebih banyak. Nikmat, terlalu nikmat. Dijamah saat masa estrus, saat ia ingin sekali dibuahi.

Ahh . . . ahh Hugo── hh Hugo── ! !

Jari-jemari kaki Lycaon menukik ke dalam. Pinggulnya kian terangkat dari cengkeraman tangan Hugo. Penisnya memantul kencang di setiap friksi. Bulu-bulu di tubuhnya meremang, terlebih pada bagian telinga serta ekor.

Kini dia sepenuhnya terlena pada jamahan sang alpha. Bahkan, tanpa tangan melayani atau menyentuh penisnya saja, Lycaon tetap mampu merasakan nikmat yang luar biasa di sana.

Nama Hugo terus ia sebut dalam setiap desahnya. Namun, tidak ada satu pun yang Hugo jawab. Ia hanya sibuk mengunci tatap pada air muka Lycaon, turun ke leher, dan lalu ke ekor yang menegang di sela antara tubuh dan ranjang.

“Lyca,” panggilnya kemudian. Ritme pinggul ia lambatkan hingga berhenti sebelum kemaluan ditarik keluar, membuat Lycaon ingin menangis dari kekosongan, “kayaknya lebih enak kalau kamu nungging.”

Tutur kata Hugo, Lycaon terima jelas. Tidak ada paparan yang tepat untuk itu, tidak ada pertanyaan. Lycaon segera mengubah posisi, menungging selayaknya serigala betina yang siap dikawini di depan Hugo.

“ .. gini?” Tanyanya serentak mengangkat ekor tinggi-tinggi guna memperlihatkan lubang yang sudah berdenyut kemerahan.

Hugo yang melihat jelas tidak kuasa menahan seringainya. Dia posisikan tubuh kembali tepat di belakang Lycaon dengan kedua lutut tertekuk. Satu tangan Hugo mencengkeram pangkal ekor Lycaon, lantas tangan yang lainnya memegang pangkal kemaluan sendiri guna ia arahkan kembali menuju liang Lycaon.

Kali ini, dorongannya melesak masuk dengan mudah, barangkali karena lubang yang sudah terlalu basah. Penisnya tenggelam semakin dalam hingga bagian kepalanya bertemu dengan pintu masuk rongga reproduksi omega. 

Ah, dia ingin sekali menerobos sumber dosa yang dapat membawa alpha mana pun pergi ke neraka sementara.

Ingin sekali. Kendati demikian, dia tahu, Lycaon belum siap. Maka pinggulnya kembali bergerak. Ia hantam berulang kali pintu rahim itu dengan ujung ereksinya. Ia genggam erat-erat pangkal ekor Lycaon menggunakan satu tangan, sementara tangan yang lain meraba bokong Lycaon untuk kemudian ia remas.

Setiap kuku dari jari-jemari Hugo tenggelam dalam kulit. Lycaon meringis, merasakan perih serta nikmat. Kedua tangan Lycaon meremas seprai kuat-kuat. Kepalanya menengadah. Lehernya dijenjangkan. Mulutnya terus terbuka, mengalun desah selagi matanya terpejam, membiarkan inderanya menjadi lebih sensitif kala liangnya dikawini.

Haah . . haa Hugo .. Hugo── mmh~!”

Gerakan pinggul Hugo semakin cepat, semakin keras. Benturan antar kulit memantul di dinding, mengisi ruang kamar yang sudah lekat dengan feromon mereka berdua. Penis Lycaon mulai terasa mengedut, sementara penis Hugo mulai terasa membengkak. Di hantaman berikutnya, liang Lycaon menyempit, mengapit tebal penis Hugo hingga memaksa ia memelankan tempo.

Hh, sempit. ” Geram Hugo. Dia lepas cengkeraman dari pangkal ekor Lycaon dan memindahkan tangannya ke punggung sang omega untuk ditekan, memaksa Lycaon berbaring di bawah beban tubuhnya. Sementara itu, tangan lain Hugo menjulur di sebelah tubuh Lycaon, menopang tubuhnya sendiri selagi pinggul di tekan, buat kemaluan terkubur jauh ke dalam, hampir membuka pintu rahim.

Sakit … panas . . ── haah~ Aku mau keluar . . ” Ujar Lycaon, dalam lenguh.

Berbeda dengan yang biasa ia lalui di masa-masa estrus sebelum ini. Sekarang, Lycaon tidak merasa energinya terkuras habis, justru kian merajalela. Antusias yang ia miliki berkecamuk hingga feromon madunya meluap dan terus berdansa mengisi ruang dalam paru-paru Hugo.

Bukan hanya dia yang larut dalam euforia. Hugo pun sama. Sebab akalnya semakin hilang kendali dan kebutuhan untuk membuahi omega yang sedang heat , feromon anggur merah Hugo berangsur menjadi aroma kayu manis hangus. Menekan. Penuh kehendak.

“Keluarin aja,” bisik Hugo, “sekarang ada aku. Kamu ngga perlu nahan apa-apa lagi.” 

Dia tekan tubuhnya di atas tubuh Lycaon. Setiap bulu omega yang meraba kulitnya membuat ia tambah terangsang. Tangannya kembali berpindah, dari punggung ke leher Lycaon yang jenjang untuk dicengkeram. Dengan kepala Lycaon yang── mau tidak mau ──menengadah, Hugo hirup sumber feromon dari kelenjar di tengkuknya.

Hugo.. ” Panggilnya. Dia ingin sekali sampaikan, bahwa, tidak apa-apa untuk menggigit, untuk memberinya tanda. Kendati begitu, lonjakan ejakulasinya datang tanpa bisa ia tahan.

Tubuhnya gemetaran. Tangannya semakin mencengkeram seprai sampai bantalan telapak tangannya memutih. Kakinya mengejang dan cairan spermanya menyembur di antara perut dan kasur.

Pada perubahan frekuensi kontraksi usus dari klimaksnya, Lycaon tanpa sengaja menarik penis Hugo agar masuk lebih dalam. Seakan-akan meminta melalui tubuh, dia ingin Hugo tenggelam, mencapai rongga yang lebih intim. Dan, Hugo tahu.

Bukan, Hugo memang menunggu.

Dia menunggu Lycaon mengerang. Menanti feromonnya dengan sang omega pecah tak tertanggulangi untuk membuka paksa pintu rahim yang paling berharga. Ketika kepala penisnya berhasil menembus leher rahim, cairan spermanya akan dengan sengaja mengalir, mengisi dinding rahim yang siap menampung.

Mmhh──!! ” Lycaon merasakan. Panasnya benih Hugo di dalam perutnya.

Dia tahu, leher rahimnya dibuat menganga. Dia tahu Hugo membuat cairan Lycaon di dalam sana menyatu dengan spermanya. Dan, dia tahu pula, Hugo belum selesai.

Alpha itu; jika dia membuat simpul sekarang maka, omeganya tidak akan bisa pergi . Tidak saat ini.

Lyca──hh. ” Panggil Hugo. Dia alihkan wajahnya dari tengkuk ke bahu Lycaon. Dia buka kembali mulutnya dan menancapkan deretan gigi serta taring ke dalam kulit. Semua demi membungkam keinginannya menggigit kelenjar feromon Lycaon. Demi tidak memberi tanda, walau sudah mengawini, bahkan, berkeinginan menghamili.

Feromon kental Hugo berubah, lagi. Tembakau basah menguar, membaur dengan madu dari Lycaon.

Lycaon mabuk. Sakit kepala. Tetapi, tubuhnya terlalu terlena untuk melawan. Mana lagi, sekarang ia tahu, rasa diisi penuh oleh alpha adalah rasa terbaik yang pernah ada. Walau sakit, walau kram. Dia tidak menolak. Tidak sama sekali. Tidak sedikit pun.

Dia biarkan penis Hugo dengan kejam menyerbu tempat yang belum pernah dia kunjungi. Dia rasakan kemaluan Hugo menjadi lebih besar, lebih bengkak. Dia nikmati cara ereksi itu mengunci pintu rahimnya, mendorong, dan menjadi simpul di dalam sana.

Demi satu tujuan.

Demi Lycaon menjadi miliknya.

Demi omega yang tidak akan pernah dia berikan kepala orang lain.

Demi menjadi satu-satunya alpha dalam hidup Lycaon.

Hugo membuat tubuh mereka saling mengunci.

Lycaon panggil namanya berulang kali. Dalam tangis, dalam ejakulasi selanjutnya, dalam pasrah. Lengan Lycaon lunglai. Lubangnya perih. Perutnya sakit. Bulu-bulu di tubuhnya mulai lembab.

Sperma Hugo menggenang dalam rahim. Tidak diizinkan keluar melalui celah apapun. Napasnya berat di atas tubuh Lycaon. Bebannya terasa panas berpeluh dan jatuh menyatu ke bulu-bulu Lycaon.

Sakit. . banget── ” Tutur Lycaon, terbata.

“Sedikit lagi.” Balas Hugo, dengan yakin.

Selama terikat, Lycaon tidak bisa bergerak. Kedua lengan Hugo sekarang mengunci Lycaon di dalam sangkar dan membuatnya menunggu dengan tenang hingga ikatan simpul memudar.

Lycaon benamkan wajah pada seprai. Hugo perhatikan tengkuk yang masih saja membengkak, belum mereda sama sekali sebelum satu tangannya mengusap bagian belakang telinga Lycaon serta wajahnya mendekat guna membisikkan kata-kata manis yang cukup untuk membuat jantung Lycaon berdetak lebih cepat.

“Aku ngga akan pergi,” bisik Hugo, “meski kamu suruh loh.”

Dia belai bulu Lycaon yang basah.

“Dan kamu ngga akan bisa kabur, Lyca. Aku tau, kamu suka tempat aman.


Masa estrus Lycaon berakhir di hari ke-sembilan. Lebih lama dari lazimnya, lebih berat dari yang mampu ia bayangkan.

Bukan hanya tubuhnya saja yang remuk. Pikirannya pun seperti tak dapat dikembalikan ke bentuk semula. Seolah setiap hembusan napasnya masih dibalut jejak feromon yang enggan menguap.

Umumnya, tiga hari saja cukup untuk Lycaon mengalami masa estrus ──paling banyak ya seminggu. Tetapi, kali ini, tubuhnya memberontak, seolah ingin membuktikan sesuatu; bahwa, batas Lycaon ternyata jauh lebih rapuh dari yang selama ini ia paksakan .

Dan, hanya karena Hugo menghubungi rektor untuk memperpanjang masa cuti, Lycaon membiarkan dirinya kehilangan kendali. Membiarkan lubangnya basah berhari-hari. Membiarkan mani alpha memenuhi dirinya tanpa ampun. Membiarkan perutnya yang terkadang nyeri tetap disentuh.

Lycaon tidak pura-pura kuat. Tidak di depan Hugo .

Wise sempat menghubungi pagi di hari ke-tujuh. Suaranya cemas, berkata, ‘kalau perlu istirahat lebih lama lagi, bilang ya. Aku bisa bantu bikin surat cutinya. Rektor bakal ngerti.’

Iya, semua mengerti. Namun, Lycaon sendiri tidak yakin apakah ia bisa mengerti tubuhnya.

Saat membuka mata di hari ke-sembilan, Lycaon dapati selimut sudah separuh melorot ke pinggang. Kulitnya penuh memar samar ──di bahu, di paha, di betis, dan pastinya di leher. Bulu-bulunya lengket entah oleh peluh atau cairan. Napasnya lelah, kendati begitu, suhu panas tubuhnya sudah turun, tidak lagi menyiksa seperti malam sebelumnya.

Yang pertama menyambut bangunnya adalah pelukan Hugo; pelukan lekat, akrab . Feromon masih menyimpan jejak di udara, anggur merah dan sisa susu. Kombinasi yang mengundang gejolak dalam dada Lycaon, manis nyaris pahit, dan buat tenggorokan terasa kering.

Seakan tubuh Lycaon sudah merindukan rasa itu dalam diam.

“Selamat siang, Lyca~” Bisik Hugo. Sapaannya lirih, disertai kecupan di belakang telinga. Sentuhan bibir yang terlalu hangat untuk disebut biasa.

Lycaon tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah tirai yang belum dibuka.

Ada jarak.

Ada kebingungan.

Ada pertanyaan yang tidak punya nyali untuk dia lontarkan .

‘Kenapa Hugo nggak ngasih tanda?’

Hugo membuahi, berulang kali, tanpa kondom, tanpa ragu. Tapi tidak sekalipun dia mencoba memberi tanda di kelenjar feromonnya. Padahal mereka berdua tahu apa artinya itu ──lebih dari sekadar berhubungan intim, lebih dari sekadar melalui masa estrus.

‘Kalau emang nggak mau memiliki. Kenapa bersikap seolah-olah mau.’

Barangkali Hugo tahu kondisi Lycaon tidak stabil . Barangkali Hugo pikir tubuh Lycaon tidak mungkin bisa mengandung.

Pemeriksaan tahunan omega selalu mengatakan hal serupa pada Lycaon ──hormonnya kacau, mentalnya rapuh, obat-obatannya terlalu berat, baik itu pereda nyeri atau penenang. Ketegangan psikis Lycaon membuatnya nyaris mustahil untuk mengandung anak. Mungkin karena itu, Hugo tidak menandainya. Mungkin karena Hugo tahu, Lycaon tidak mungkin bisa mengandung anak, maka ia berbuat asal-asalan.

Meski begitu, tetap saja, ada ruang kosong dalam benak yang tidak bisa menerima alasan-alasan logis ──asumsinya sendiri── itu. Hugo tahu resiko. Hugo tahu Lycaon tidak memakai inhibitor.

Dan Lycaon, dia ingin dimiliki. Sejak awal. Tetapi, dia juga terlalu takut untuk mengatakannya. Terlalu takut terlihat lemah. Terlalu takut kalau cintanya lebih besar dari yang Hugo rasakan. Terlalu keras kepala.

Di belakangnya, Hugo mencium bahu dalam diam. Dia sentuh kulit lelah yang penuh bekas gigitan. Dia pula cium bulu Lycaon seperti sedang mengenang. Padahal, Lycaon masih di dalam pelukannya; bernapas, berkedip . Barangkali dia tahu apa yang mungkin ada dalam pikiran Lycaon sekarang ini, itu mengapa, dia perlakukan selayaknya kenangan selama belum ada hasil; penuh hati-hati, seolah bisa hilang kapan saja .

“Aku mau pulang,” gumam Lycaon, akhirnya. Suara serak, permata sayu, “aku udah nggak masuk lama banget, pasti ketinggalan  banyak.”

Dia tidak menyinggung hal lain. Tidak sesuai dengan apa yang Hugo harapkan akan dia bahas.

Lengan Hugo mengencang, merangkul leher Lycaon dari belakang. Hidungnya menyentuh garis rahang Lycaon yang masih lembab.

“Daripada mikirin itu, lebih baik kamu mikirin badan kamu sendiri, Lyca.” Tutur kata Hugo diakhiri dengan ciuman ──bukan ciuman antar kekasih, bukan pula sekadar teman.

Cium itu mengaburkan. Membuat Lycaon ragu; apa yang Hugo rasakan sebenarnya?

Hugo lekas menyapa ranum Lycaon dengan lidah sebelum dia masukkan daging tak bertulang itu ke dalam mulut pelan-pelan. Ada kelembutan yang buat sesat, ada baluran saliva dari lidah yang menjamah sisa rasa panas di sana.

Tangan Hugo lantas meraba turun, meremas bokong Lycaon, dan menjalar ke sepanjang garis pantat hingga sampai ke depan lubang yang masih basah sisa malam tadi. Ia menyusupkan dua jari ke dalam tubuh Lycaon hingga sang omega menarik napas dalam-dalam, seakan sedang menahan diri dari sesuatu yang ingin ia ulangi sekali lagi.

Dibuahi lagi.

Dikawini lagi.

Lycaon jelas … ingin lagi .

Nalurinya bicara lebih dulu dari logika. Tubuh Lycaon bergerak, menghadap Hugo. Kedua tangannya memegang masing-masing sisi bahu Hugo selagi ekornya terangkat, memberi ruang untuk tangan Hugo bergerak, mengocok cairan becek di lubangnya dengan jari-jemari. 

Ah, Lycaon nyaris menyerah lagi . Sembilan hari ini sudah bagai program untuk tubuhnya mencari kehangatan tanpa berpikir. 

Namun, sayang, Hugo menarik diri tepat sebelum mereka hanyut terlalu dalam. Dia tarik lengan Lycaon untuk memeluk lehernya selagi dia berpindah tempat, duduk di atas paha Lycaon yang jelas memang lebih besar darinya, kemudian dia belai paha yang masih kencang itu, yang selalu berhasil buat dia terkagum-kagum sebab luar biasa indah.

“Sarapan dulu yuk. Mau makan apa? Aku siapin.” Katanya, sambil memindahkan tangan dari paha ke pinggang, dan lantas naik ke dada bidang dengan otot kuat milik Lycaon, “kemarinan kamu makannya ngga bener. Hari ini harus bener, biar kondisi fisik kamu ngga turun.”

Tatapan mata Hugo memandang lurus, melihat Lycaon dengan perhatian. Kendati demikian, di situlah Lycaon sadar. Bahwa, dia ingin lebih, dan bahwa, Hugo tahu itu tetapi tidak memberi.

Dengan suara rendah, dia mendorong dada Hugo, “udah selesai, ‘kan? Nggak perlu sampai sarapan bareng. Sana pulang.” Pintanya.

Hugo terpaksa turun sebab, Lycaon melandai dari ranjang. Dia melangkah ke kamar mandi, meninggalkan Hugo yang terdiam.

Bukan karena Hugo tidak tahu harus berkata apa ──tetapi karena keinginannya terlalu besar untuk dia suarakan.

Dia takut, harapan yang ia miliki akan terdengar seperti tuntutan. Dia takut kebutuhan yang dia miliki akan terdengar seperti paksaaan. Dia takut, Lycaon tidak merasakan hal serupa . Itu mengapa, dia hanya bisa beraksi, berdoa pembuahannya berhasil, sebab dengan begitu, kelak Lycaon akan membutuhkannya lebih dari sekarang ini. Kelak Lycaon akan mencarinya. Akan lebih jujur dan memulai untuknya. Akan mengerti, bahwa, membuatnya hamil adalah cara dia mengikat.

Untuk Lycaon yang terlalu keras kepala, mungkin, satu-satunya cara agar Lycaon jujur adalah ketika keajaiban kecil tumbuh dalam perut.

Chapter Text

Langit mendung menyambut hari pertama Lycaon kembali ke kampus.  

Ruang kelasnya nyaris penuh. Sejuk dari AC bekerja setengah mati menetralkan aroma yang menerawang mahasiswa/siswi. Akan tetapi, tetap saja, beberapa alpha di pojok belakang kelas tampak mengernyitkan dahi.

Mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya saling bertukar pandang lalu memutuskan mengenakan kembali masker medisnya ke wajah. Aksi yang cukup buat Lycaon sadar, bahwa, di dalam kelas yang masih riuh rendah oleh suara ini, feromonnya masih saja menguarkan aroma susu manis ──halus, lengket, dan membaur lambat seolah sengaja mengundang lidah siapapun untuk mengecapnya.

Lycaon bukan sengaja kok. Dia hanya tidak bisa mengontrolnya. Pasca-estrus tiga hari lalu membuat kelenjar feromon Lycaon tidak stabil. Dan, dia sadar akan hal itu. Hanya saja, tidak bisa yang bisa ia lakukan selain berharap pada Hugo yang duduk tepat di sebelahnya.

Tuan bersurai pirang itu menyandarkan dagu ke satu tangan. Permatanya melirik malas ke arah proyektor yang sedang menampilkan gambar pelaku dari korban pembunuhan; seorang lelaki, yang pernah Lycaon bayangkan hampir dua minggu lalu . Di halaman berikut tercatat berbagai macam penelitian medis secara fisik maupun mental milik pelaku sebelum teralih kembali, kali ini ke gambaran absolut serta eksplisit korban.

Tubuh gadis muda itu ditemukan dalam kamar yang remang. Jendela besar di samping ranjangnya tertutup tirai renda tipis yang memungkinkan sinar matahari menyelinap masuk. Walau begitu, cahayanya begitu terfokus, seolah telah diatur. Sebelah sisi wajah puan bersinar hangat bak marmer, sementara sisi lainnya tenggelam dalam bayangan pekat ──mengukir efek chiaroscuro yang terlalu sempurna untuk disebut kebetulan .

Korban diposisikan berbaring, Di atas kasur kayu antik yang sudah dicat ulang dengan warna gading kusam. Lehernya tegak, kepalanya sedikit miring ke kanan, menciptakan siluet lemah namun pasrah. 

Rambut puan panjang dan hitam legam, disisir rapi ke atas kepala, dililit membentuk coronet braid , seperti mahkota yang dipasangkan dengan niat suci, dihias karangan mawar putih. Beberapa helai rambut puan melekat di masing-masing sisi wajah, menciptakan kontras terhadap kulitnya yang pucat.

Mata korban tertutup separuh. Bukan dengan pelupuk, tetapi dengan dua kelopak lily putih yang diletakkan saat masih segar, masih harum. Hidung puan berdarah, tetapi darah itu bukan mengalir; itu diseka sebagian, lalu disapukan kembali di bawah hidung dalam lengkung tipis, seolah-olah pelukisnya ingin memberi sapuan make up terakhir .

Tangan korban terentang ke samping, dalam pose hampir menyerupai salib, jari-jemarinya kaku, tetapi satu genggaman kanan menggenggam rosario rusak , manik-maniknya berjatuhan ke lantai kayu, satu demi satu, mengarah seperti garis penunjuk ke tubuh. Di sisi kiri puan, sebuah tanda kecil disusun; jam pasir kaca, cermin pecah, dan lilin separuh terbakar yang sudah padam

Semua itu simbol waktu, kefanaan, dan refleksi kematian .

Gaun yang korban kenakan berwarna merah anggur, satin halus dengan lengan terbuka yang memperlihatkan bagian lebam keunguan di kulit. Luka-luka puan tidak kasar, tidak tampak sebagai hasil pergulatan. Luka-luka itu tampak … disusun . Ada simetri. Ada ritme. Seperti garis tarikan kuas di atas kanvas.

Kaki korban disilangkan dan dibasuh. Ujung-ujung jari-jemari kakinya tampak bersih, bahkan dicat ulang──seolah tubuh ini, dalam kematiannya, hendak dipertontonkan. Bukan sekadar pembunuhan. Ini pertunjukan .

Pada dinding belakang korban, sehelai tirai beludru gelap ditarik, menciptakan latar belakang layaknya panggung teater. Bahkan Lycaon ingat, aroma ruangan── tercium samar dari laporan awal TKP ──mengandung lilin, bunga melati, dan sedikit alkohol pengawet .

Yang menyakitkan dari semua ini bukanlah bagaimana tubuh korban ditemukan, tetapi bagaimana pembunuhnya merancang rasa kehilangan sebagai karya seni . Dia menciptakan narasi kematian dalam rupa Baroque yang memukau; kematian bukan lagi akhir, tetapi estetika .

Gila? Sangat.

“Kalau aku mati nanti,” Hugo tiba-tiba berbisik usai setiap halaman dari foto korban diberi unjuk, “kamu tata aku kayak gitu juga ngga?” Bibirnya nyaris menyentuh daun telinga Lycaon.

Lycaon menghela napas saat mendengar. Dia tidak memindahkan pandangannya, tetapi tetap menjawab, “kalau kamu mati, kamu punya dua pilihan. Mau aku buang ke hutan atau kubur hidup-hidup?”

“Aku mau bikin pilihan lain,” tuturnya segera, “mau tidur di kasur kamu, biar kita bisa tidur bareng terus.”

Hening .

Lycaon tidak menjawab. Tidak menarik napas. Tidak mengerjap.

Hugo hendak tertawa, tetapi dia urungkan niatnya sambil memandang wajah Lycaon dari samping, “ngga romantis, ya?”

“Lebih ke jijik.”

Sebab balasan itu, barulah Hugo tertawa pelan, cukup untuk membuat bahu Lycaon melemas.

Tidak ada yang tahu mereka bicara apa. Tidak ada yang sadar pula, bahwa, jari-jemari Hugo diam-diam menyentuh jemari Lycaon yang sedang menggenggam pulpen di atas buku catatan.

“Masih keburu submit besok kok,” gumam Hugo, kali ini nada suaranya lembut, “kamu udah nulis banyak soal pendapat kamu di setiap foto. Tinggal kasih opini, kenapa pelaku mau ngasih tau kita soal ini.”

“Belum,” jawab Lycaon separuh hati, “aku ngerasa kurang. Kayak ada yang ketinggalan.”

“Bagian mana?”

“Enggak tau. Enggak fokus. Kebanyakan orang di kelas ini, alpha.”

“Terus kenapa? Aku juga alpha,” Hugo menjatuhi pandangan dari wajah Lycaon ke buku catatannya yang sudah penuh tulisan, “kamu bisa peluk aku aja biar bisa fokus, kalau mau.”

“Kamu alpha. Tapi beda.”

“Karena aku ganteng?”

“Karena kamu familiar.”

“Ah,” Hugo mengangguk-anggukan jemala seolah menyadari sesuatu, “berarti, …” diputusnya kalimat selagi jari-jemari dari kedua tangannya saling bersilang demi menopang dagu, “berarti, semisal kamu harus nikah, kamu bisa sama orang yang familiar? Ngga perlu ganteng, ngga perlu cinta?”

“Udah diam, Hugo.”

“Aku cuma bantu kamu fokus, Lyca,” senyumnya terukir. Dia jatuhi satu tangan, berganti menopang dagu dengan tangan yang lain, kali ini bukan melihat ke depan, melainkan untuk melihat Lycaon di samping, “karena aku ngomong terus, feromon kamu jadi lumayan stabil, ngga kayak tadi tuh.” Tambahnya sambil menyenggol lutut Lycaon.

“Iya, udah kerjain tugas kamu gih.”

“Hmm, ngga bisa.”

“Kenapa?”

“Kamu kelihatan kayak mau muntah. Gugup kah? Karena stres tugas? Emang sesusah itu ngasih pendapat?”

Mendesahlah Lycaon ketika mendengar. Ia benarkan posisi duduknya dalam sekejap, “karena kamu deket-deket.”

“Oh, jadi kamu gugup karena aku? Hebat juga aku,” pujinya terlontar untuk diri sendiri. Bukannya menjauh, dia justru bersandar lebih dekat lagi, “aku ngga akan jauh-jauh kalau gitu! Mau ngga mau, kamu harus belajar ngatur napas meski aku deket, Lyca. Kamu kan mau jadi detektif, nanti susah kalau gampang gugup cuma gegara aku ada.”

Dari bangku mereka agak ke tengah, Rina memandang. Tidak dengan tatapan heran atau menyelidik, melainkan dengan senyum yang mencampur kekesalan, keprihatinan, serta keirian. Tangan Rina menopang dagu, dia tatap bagaimana Lycaon mengerang pelan saat pahanya ditepuk oleh Hugo, dan bagaimana Hugo dengan begitu nyaman menyandarkan dagu di bahu Lycaon seolah-olah mereka pasangan.

Padahal, mereka bukan

Bukan secara resmi maksudnya.

“Rin,” Ellen memanggil dari samping, bertanya, “Caon sekarang pacaran?”

“Entah,” jawab Rina, nada suaranya tidak memberi unjuk keyakinan sedikit pun, “tapi kalau enggak pacaran, berarti Hugo itu laki paling tebel muka sih.”

Sementara itu, di meja mereka, Lycaon akhirnya mulai menulis beberapa pendapat yang menurutnya masuk akal. Dia biarkan kata-kata mengalir, membentuk kalimat dengan presisi selagi mencium aroma dari feromon anggur merah manis milik Hugo.

Tubuh Lycaon diam-diam berjuang menyesuaikan. Kendati demikian, dia tahu, bukan feromon yang membuatnya kesulitan sekarang. Bukan. Tapi … sikap Hugo .

Sentuhan ringan. Godaan samar. Kalimat ambigu. Semua itu seolah Hugo memang ingin menjadi bagian dari hidupnya, bukan hanya selama estrus. Namun pertanyaan Lycaon masih sama dalam benak; mengapa tidak ada tanda? Mengapa membuahi, tetapi tidak mengikat? Mengapa mencium kening, tetapi tidak menggigit kelenjar? Mengapa seakan mencintai, tetapi tidak memberi kepastian?

“Lyca,” suara Hugo memanggil lembut, membuyarkan lamunan Lycaon yang buat tangannya berhenti menulis, “kalau kamu terus mikir keras kayak gitu, bulu kamu rontok loh. Terus jadi botak. Mau botak?”

“Aku lagi fokus, Hugo.”

“Bohong. Kamu lagi mikirin aku.”

“Dih.”

Hugo tertawa lagi, lalu bersandar ke kursinya.

“Lyca, kalau kamu mau nanya kenapa aku ngga ngasih tanda, tanya aja. Jangan dipikirin sebegitunya.” Kalimat itu berhasil buat Lycaon membeku.

Jadi Hugo tahu

Hugo tahu tetapi memilih untuk tidak membicarakannya sebab dia memang menunggu, Lycaon mana tahu Hugo menunggu, kan? Hugo tahu Lycaon menginginkannya tetapi memutuskan untuk bertindak semaunya sebab, Lycaon itu keras kepala, kan?

Permata Lycaon bergerak, tetapi tidak berani menoleh.

“Kalau kamu emang mau ngasih tau, kamu bakal ngasih tau. Enggak perlu nunggu aku nanya.”

“Sayangnya, aku nunggu, Lyca.” Jujur Hugo. Pada akhirnya, lelaki itu tidak bisa terus diam dan menanti keajaiban. Dua minggu sudah berlalu sejak terakhir mereka bersama di masa estrus Lycaon. Kendati begitu, sampai detik ini, dia tidak mencium perubahan apa-apa dari Lycaon.

Atau, mungkin dia hanya tidak sabar saja .

“Aku mau kamu nanya, jadi aku tau apa yang kamu mau. Lagian, soal tanda, aku ngga mau ngambil keputusan sendirian. Tanda kayak gitu ngga akan hilang walau salah satu dari kita meninggal, Lycaon.”

Tidak ada jawaban. Lycaon terdiam.

Hugo benar. Dia yang tidak memikirkannya matang-matang. Memberi tanda di kelenjar feromon itu tidak sama dengan mengikat lainnya. Hugo tidak akan bisa memiliki omega lain apabila Lycaon pergi. Dan, Lycaon tidak akan bisa memiliki alpha lain apabila Hugo pergi.

Dia cukup yakin, dia tidak menginginkan siapapun selain Hugo. Tetapi Hugo, … jika dia mengkhawatirkan soal itu, bukankah dia tidak cukup yakin hanya menginginkan dirinya?

Ah, Lycaon, lagi dan lagi, tidak berani bertanya. Dia ingin mencari kepastian. Dia ingin mencari jawaban. Ingin sekali, cuma sayang, keberanian Lycaon itu ditelan keras kepalanya. Kalau Hugo ingin melanjutkan, dia pasti tidak akan membuatnya kebingungan.

Kembalilah dia menulis, perlahan. Jemarinya kini lebih tenang. Dia tidak sadar, tetapi Hugo tersenyum di sebelahnya ──menatap profil wajah Lycaon yang jelas sekali masih menyimpan tanya.

Biarlah. Hugo memang harus sabar. Toh, jika tidak berhasil sekarang, masih ada masa estrus nanti untuk mencoba lagi.

Dan Rina, dari mejanya, hanya dapat menghela napas.

“Orang kayak gitu tuh,” gumamnya lirih, “ enggak bisa ditebak.

Chapter Text

Dua hari kemudian, aroma feromon Lycaon berubah .

Awalnya samar. Lalu perlahan menjalar seumpama uap air yang menari di atas api.

Ada sesuatu yang manis ──bukan alang kepalang manis ──bahkan untuk omega sepertinya. Bukan manis susu. Bukan pula aroma saat masa heat yang merekat bagai jerat. Ini lebih mengakar. Lebih primal. Lebih antik.

Kendati begitu, Hugo tidak langsung bereaksi saat mencium. Dia hanya lebur, temenung, dan membiarkan inderanya memetakan ulang arah napas Lycaon, mencocokkan kadar hormon yang semerbak dengan ribuan ingatan dalam benaknya sendiri. Lalu, pada poin kala jasmaninya menepak dan napasnya berubah ringan, kehadiran mungil mulai terasa jelas.

Hugo tahu, Lycaon mengandung .

Kabar itu, tidak terucap di bibir; hanya disimpan dalam kepala .

Di depannya, Lycaon duduk, menatap tugas yang sudah rampung untuk dibaca ulang, untuk dia koreksi kembali. Kening Lycaon berkeringat. Tangannya terus menerus bekerja, berpindah dari batang pen stylus ke pena hitamnya. Dia centang dokumen di tablet seraya memastikan semua bagian yang tertera di layar sudah diberi tinjauan di atas lembaran kertas tugasnya.

Memaksa diri, seperti biasa, padahal pandangan sudah buram sejak pagi tadi .

“Kenapa masih belum dikumpulin coba?” Hugo bertanya, akhirnya .

“Mastiin ulang. Takut ada yang kelewat.” Jawabannya pelan, “nggak bisa ngecewain, apalagi udah dikasih keringanan buat ngumpulin lewat dari deadline .”

“Tapi udah dari kemarin kamu mastiin, Lyca. Kumpulin aja sekarang, biar kamu cepat istirahat juga.” Tutur Hugo. Nadanya lembut, dibumbui keprihatinan.

“Dikit lagi.” Timpal Lycaon. Singkat, tegas, dan cukup untuk membungkam Hugo.

Dan, memang Hugo memilih tutup mulut setelah itu .

Dia sandarkan punggungnya ke bangku kelas. Dia perhatikan cara Lycaon memijat pelipis, sesekali meringis. Dia terdiam seraya menimbang── haruskah dia memberitahu atau membiarkan Lycaon menemukan kenyataan itu dengan sendirinya? 

Hugo bisa saja bertanya, tetapi itu sudah jelas akan mengusik fokusnya terhadap tugas yang selama ini Lycaon perjuangkan untuk selesai. Dan, bila ia membiarkan── akankah Lycaon percaya diri untuk mengaku? Atau lari lagi?

Barangkali dia harus menantang resiko, memilih opsi menunggu sebab dirasa paling aman. Dia sudah pernah ditinggalkan satu kali karena terlalu memaksa, karena terlalu bersikeras menyangka Lycaon akan menurutinya. Dia tidak bisa mengarungi itu lagi; tidak mau

Lagian, Hugo sudah sampai sejauh ini. Sudah bertaruh dari awal menanam benih di dalam rahim Lycaon. Mungkin, ketika waktunya datang, kepala keras itu akan sedikit melunak. Mungkin, saat sadar sendiri, Lycaon akan lebih terbuka.

Sejak hari itu, Hugo mulai mengubah kebiasaannya.

Tuan masihlah usil seperti biasa── bahkan lebih sering lagi dari sebelum-sebelumnya . Kadang menyentuh bulu Lycaon yang kaku di ekor, mengacak-acaknya sampai kusut seperti kawat tembaga di dada, lalu tertawa. Kadang dia menyambar buah dari tangan Lycaon dengan dalih, “yang asem ngga enak, cobain yang ini .. manis.”. Kadang dia diam-diam mengganti botol air putih Lycaon dengan mineral yang mengandung elektrolit.

Dan, ketika Lycaon mulai menggigil dari demam ringan, Hugo akan mendekapnya dari belakang dan berbisik, “tubuh kamu kayaknya minta pelukan aku terus deh. Manja, ya?”

Lycaon tidak pernah menjawab. Balasannya hanya berputar di antara mendengus atau mencibir. Tetapi, walau begitu, dia tidak pernah menolak. Dan, itu cukup. Itu tandanya, Lycaon sudah terlalu nyaman .

Lima hari selanjutnya, Lycaon sadar, tubuhnya terasa aneh.

Bukan panas. Bukan ngilu seperti saat masa estrus yang umum menghantam dengan letupan basah. Lebih seperti perubahan dari sesuatu yang mengendap lalu tumbuh yang membuatnya tidak bisa tidur sejak dua malam lalu.

Dia tatap refleksi dirinya di cermin kamar. Bulu-bulunya tampak lebih lembut, lebih lebat pula. Bagian-bagian kulit yang pernah dihias memar sudah mulai sembuh. Kendati demikian, permatanya tampak lelah, menatap dengan gelisah akan tubuhnya sendiri.

Ada yang tidak biasa, dia bisa menduga meski refleksi cermin tidak memberitahu banyak. Perut Lycaon mulai terasa sedikit lebih berat. Bukan besar── belum . Hanya sensasi seakan sedang ditarik dari dalam. Kadang kencang, kadang longgar. Kadang denyutnya sendiri sampai terasa di punggung.

Mana lagi, akhir-akhir ini, sakit kepalanya lebih sering bertamu. Padahal, dia belum memasuki masa estrus lagi── dua puluh hari berlalu sejak yang terakhir kali, benar-benar tak biasanya .

Lycaon tahu ada kemungkinan. Jelas. Semua itu cukup untuk menyimpulkan tubuhnya terasa aneh. Dia lantas menggigit bibir, bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi untuk kemudian membantahnya sendiri karena tidak ada potensi. Walau demikian, dia tetap menatap telapak tangan sebelum mendaratkan ke atas perut sendiri. 

Ah, Lycaon memiliki harapan, keinginan ; siapa tahu dengan sedikit keajaiban di mana ia berhasil mengandung, Hugo akan mengangkat pembicaraan kapan lalu dan menjadikan ia miliknya ──hanya milik Hugo seorang. 

Walau sebetulnya dia ragu, sebab, saat ini, Hugo sedang duduk di tengah-tengah ruang tidur Lycaon, sibuk menyortir lembar tugas akhir semester yang mesti dikumpulkan besok tanpa ada sedikitpun niat untuk mengatakan sesuatu; apakah dia sudah tahu atau belum .

“Lyca, kamu mau roti isi telur dadar ngga? Aku tadi beli dua.” Tanya Hugo sambil mengangkat wajah, memandang Lycaon yang sudah selesai bercermin.

“Enggak,” jawabnya serentak menarik dompet dari laci lemari sebelum diselipkan ke saku celana, “aku mau keluar sebentar.”

“Kemana?”

“Jajan. Cari camilan. Kamu mau nitip?”

“Mau,” jawab Hugo. Dia tersenyum, walau tahu Lycaon berbohong. Tetapi biarlah, “apa aja yang enak, tapi jangan yang asem. Kamu juga ngga boleh jajan yang asem-asem, ya.” Tambahnya.

Biarlah Lycaon bergerak keluar dari kamar. Mencari tahu apa yang seharusnya diketahui sebab kadang, satu-satunya cara untuk membuat seseorang percaya adalah dengan tidak memaksa.

“Hati-hati.”

“Mhm.”

Begitu pintu kamar tertutup, Hugo menunduk. Dia tarik napas dalam-dalam sebelum berbaring di atas ranjang.

Pada akhirnya, luka tidak perlu ditambal ── cukup dibiarkan tumbuh menjadi hidup yang baru saja .


Papan pengumuman yang terpasang di lobi fakultas telah penuh sesak. 

Tulisan tangan dosen, pengumuman UKM, info kelas tambahan, dan satu hal yang menyita pusat perhatian di bawah mendungnya langit hari itu;

── Libur semester akan dimulai tanggal 23. Harap mengosongkan area asrama mahasiswa maksimal H-1.

Ruang itu seketika riuh. Suara mahasiswa dan mahasiswi saling bersahutan dalam euforia yang serentak dan ringan. Vokal lisan mereka melambung, menyambut hari yang sudah lama ditunggu. Tidak berbeda dengan Rina yang berbetulan berdiri di samping kiri Lycaon; memberi selamat pada Ellen . Sementara di sisi lain, Wise sibuk mengontak Belle, memberi kabar dan menawarinya makan bersama malam nanti.

Sayang saja, di sela semua itu, Lycaon menatap tanpa ekspresi.

Pandangannya mungkin tertuju pada papan pengumuman, akan tetapi, pikirannya melayang jauh. Bantalan telapak tangan Lycaon terasa dingin. Bulunya meremang. Di saku belakang tasnya, kertas hasil pemeriksaan dari klinik sore lalu masih terlipat rapi.

Sejak tahu bahwa ada kehidupan tumbuh dalam dirinya, segalanya seolah berubah menjadi kabut. Harapannya tercapai, tetapi entah bagaimana, dia belum bisa merasa bahagia. Alih-alih merasa kosong. Tidak sedih. Tidak tahu harus apa. Lebih serupa … mati rasa .

Sebab, siapa yang bisa menjadi tempatnya berkeluh kesah? Siapa yang akan mengerti, bahwa, dia mengandung padahal tubuh serta mentalnya nyaris menyerah? 

Hugo? Lelaki itu belum mengatakan apa-apa sejak Lycaon kembali membawa camilan asal seminggu lalu. Dia diam, Lycaon pun diam. Aneh. Padahal, ketika Lycaon baca berulang kali pengetahuan dasar mengenai alpha dan omega, seharusnya alpha lebih dulu menyadari bila seorang omega mengandung bayi mereka.

Hugo pasti tahu .

Bahkan sejak di kamar sewaktu Lycaon sibuk bercermin. Itu menjelaskan sebab pastinya dari sikap Hugo yang berubah──lebih intens, lebih hati-hati. Mendekat hanya jika perlu. Mengganggu sekadar memastikan Lycaon makan. Mengeluh saat Lycaon tidur terlalu larut. Membawakan air putih. Menetap di kos berhari-hari. Memeluk kala Lycaon merasa ingin muntah.

Namun, tidak satu pun kata menyentuh tentang ini . Seolah-olah Hugo tidak ingin tahu? Atau, Hugo tidak ingin dia mengandung anaknya?  

Mata Lycaon lekas terpejam. Tangannya refleks mendarat di atas perut yang masih datar itu. Perasaan berkecamuk di tengah-tengah keramaian. Dada berdenyut dari asumsi-asumsi yang masih saja belum bisa disuarakan. Bukan ── bukan belum bisa . Kali ini, lebih ke … tidak tahu bagaimana caranya . Dia takut, Hugo memiliki perasaan dan keinginan yang berbeda darinya, sebab walau bagaimana juga, dia sudah pernah satu kali meninggalkan Hugo.

Kembali ke ruang kelas yang kini terasa lebih tenang dari hari-hari biasa. Papan skor sudah ditayangkan di layar besar di depan, menggantikan presentasi yang sebelumnya penuh coretan tugas akhir.

Nama-nama tersusun rapi dalam barisan── angka nilai di samping nama menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan .  Dan, di sana, tepat di bagian tengah, nama Lycaon muncul dengan nilai yang tinggi. Kedua di kelas. Di bawahnya, hanya terpaut dua poin saja, tertera nama Hugo.

“Kan,” suara Hugo memecah hening. Dia melirik ke arah Lycaon yang masih belum bereaksi, “aku udah bilang skor kamu bakal bagus.”

Lycaon tidak memberi papar. Rina yang datang, berdiri di tengah-tengah dengan mata berbinar, “dari awal aku udah curiga nilai kalian bakal bagus. Tapi segini? Caon, kamu bakal berhasil sih.”

“Itu karena aku juga, loh,” Hugo menimpali cepat, dia angguk-anggukan kepalanya dengan bangga, “garis besarnya karena aku. Jadi, yang berhasil aku juga, ya ngga, Lyca?”

Lycaon masih membisu. Dia ingin merasa bangga, ingin merayakan keberhasilannya. Tetapi hati terlalu tidak tenang. Dada sesak. Kepala berdenyut. Terlebih lagi, sejak tadi pagi, dia merasa mual hanya karena aroma sabun tangan di kamar mandi kos. 

Sebab heningnya itu, Rina memiringkan jemala hingga surainya jatuh meluncur dari pundak.

“Caon?” Panggilnya dengan khawatir.

“Lagi ngga nyangka kalau bisa dapet skor tinggi, kayaknya.” Hugo langsung merespons, buat Rina menoleh padanya bahkan mengerjap, “boleh aku pindah ke tengah, Na?” 

“Oh, aku juga mau langsung pulang kok,” Rina membalas serentak melangkah mundur, “titip Lycaon, ya. Jangan dibikin nangis~” Pesannya diiringi senyum manis sebelum bergerak keluar ruang kelas.

Tersisalah mereka di dalam ruang kelas. Hugo menatap Lycaon, memperhatikan perubahan dari feromon yang mulai terasa berbeda lagi── dengan sensitivitas yang hanya alpha kenali .

Sudah berhari-hari, dan Lycaon belum bicara . Padahal Hugo telah menunggu. Memberi ruang. Mencoba percaya. Tapi ternyata benar kata orang-orang, sabar ada batasnya.

“Pulang, yuk?” Ajak Hugo kemudian. Lycaon memanggutkan hulu sebelum membalik badan.

“Tapi mampir dulu ke minimarket,” tambah Hugo saat mulai melangkah, mengekori Lycaon, “kulkas kamu itu isinya cuma air putih. Aku gatel, mau isi yang bervariasi, sama biar kamu ngga perlu keluar-keluar lagi nanti.” 

“Iya, aku juga butuh stok makanan.” Papar Lycaon. Akhirnya bersuara

Tapi sejujurnya, bukan makanan yang ia cari── melainkan sebotol kecil pereda nyeri kepala yang dapat membungkam denyut tajam di belakang mata .

Hugo singsing keranjang dengan segera begitu sampai di minimarket samping kos Lycaon. Langkah kakinya setia mengikuti sang omega. Dan, dari air muka Hugo, sudah jelas dia tahu ke mana Lycaon melangkah, bahkan sebelum Lycaon berhenti di depan rak obat.

“Mau beli apa?” Tanyanya.

“Obat,” desis Lycaon, berbisik, “buat jaga-jaga soalnya belakangan ini aku sakit kepala terus. Mungkin kurang tidur.”

Hugo terkelu. Feromon yang awal mula memberi kenyamanan serta kehangatan, sekarang beralih menjadi tegas. Bukan aroma yang sama seperti waktu mereka berhubungan badan. Bukan kayu manis hangus, bukan tembakau halus. Lebih seperti … anggur merah yang mulai busuk .

Lycaon takut. Tangannya gemetar. Botol obat kecil yang belum sempat ia raih hanya berani ia pandang saja sekarang. Hati ingin sekali melempar tanya, kendati demikian, semakin detik berlalu, semakin feromon Hugo membuatnya kacau.

“Atau,” lisan Hugo terbuka. Apapun yang kelak terlontar mampu membuat Lycaon merasa terancam, “ mungkin karena kamu lagi hamil.

Waktu retak. Jantungnya berdegup lebih kencang dari suara seisi lorong. Lantang vokal iklan yang mula-mula menjadi latar minimarket pun kini mendadak tak terdengar sama sekali.

Padahal, dia sudah tahu, Hugo tahu. Lantas mengapa itu tetap membuatnya membeku?

Sederhana. Karena itu yang paling ia harap-harapkan untuk Hugo bahas. Karena dia menunggu kalimat itu lebih dari segala-galanya.

“Nanti aja belanjanya. Ayo pulang ke kos kamu.”

Hugo letakkan kembali keranjang belanjaan ke tempatnya, lalu menatap Lycaon yang tercekat sebelum menggenggam pergelangan tangannya. Dia tarik sang omega keluar dari minimarket sesegera yang ia bisa.

Namun, belum sempat mereka masuk ke dalam, Lycaon sudah lebih dahulu menyentak tangan, menghentikan langkah mereka di samping gerbang kos.

“Kamu tau dari kapan?” Tanyanya, langsung, tak bisa lagi ditahan.

Hugo berbalik, menatap Lycaon dengan serius, lembut, dan sedikit terluka. 

“Dari awal. Hari pertama aroma kamu berubah. Aku bukan alpha bodoh yang ngga bisa kenalin bayi sendiri.” Nada suaranya rendah, mengiris, “aku tau, tapi aku milih nunggu kamu yang mulai bahas.”

“Buat apa? Kalau kamu tau dari awal, kenapa nggak kamu yang mulai bahas duluan? Kenapa milih diem, seakan nggak ada apa-apa?”

“Aku takut ditinggal lagi kalau aku mulai duluan,” terpotongnya kalimat ialah Hugo yang menarik napas panjang, “kamu ninggalin aku pas lulus SMA, karena aku bahas ini itu, nanya ini itu. Aku milih kampus ini karena aku ngga mau jauh dari kamu. Aku siap pindah jurusan pas dapat kabar soal kamu karena aku ngerasa itu kesempatan aku buat deket lagi. Tapi, ngga sekalipun kamu bilang kamu butuh aku. Aku ngga tau, kamu ngga nolak, tapi juga ngga ngomong apa-apa. Tiba-tiba kita bareng tanpa bahas banyak hal yang seharusnya dibahas.”

“Aku butuh,” Lycaon menggertakan gigi, “aku selalu butuh kamu.” Suaranya pecah, bukan karena tangisan melainkan amarah; pada keadaan, pada Hugo, lebih banyak pada dirinya sendiri.

Lycaon tidak bermaksud mengenyampingkan perspektif Hugo merasa takut. Dia hanya mengira, Hugo tidak akan pernah mengalami perasaan rapuh itu sebab, dia seorang alpha .

“Dari dulu sampai sekarang, aku butuh kamu. Maaf aku pernah ninggalin kamu, aku pikir waktu itu kamu cuma bisa nuntut, nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi selain itu kayak alpha kebanyakan. Dan, aku nggak banyak mulai pembahasan karena aku takut kamu di sini cuma karena kasihan. Ditambah, kamu bisa bantu gegara kamu yang paling familiar dan punya sejarah sama aku aja.”

“Kamu bisa nolak pas aku tiba-tiba muncul lagi. Kenapa ngga?”

“Kangen, sama … aku berharap sih.”

“Berharap?”

“Kalau ada alpha yang bisa bantu aku fokus di bidang yang aku suka, aku harap orangnya kamu.”

Dan saat itu jua, Hugo menangkup wajah Lycaon. Membungkam bibirnya dengan lembut, hangat.

“Ternyata kita buruk banget komunikasinya, ya?”

“Mhm,” Lycaon beri persetujuan, “aku mau ditandain,” katanya kemudian, lebih lirih dari sebelumnya sebab hendak mencoba mengutarakan semua yang sempat ia pendam, “aku mau kamu, aku mau anak kita punya keluarga, aku mau rumah.”

“Ada lagi yang kamu mau?”

“Ada,” ujarnya, “aku mau tau, kenapa kamu ngehamilin tapi nggak nandain? Padahal bisa, kalau emang mau nggak mau aku pergi lagi. Kenapa malah bikin aku bingung?”

Atas pertanyaan itu, Hugo tertawa pelan sebentar sebelum menariknya ke dalam pelukan, “maaf,” ucapnya, mengeratkan dekap, “maaf aku bikin kamu bingung. Aku sengaja, soalnya kalau aku langsung kasih tanda, aku ngga akan tau itu karena kamu mau juga atau karena aku nuntut lagi.”

Sambil membalas dekap, Lycaon menghela napas, “tapi kamu bikin hamil tanpa tau aku mau atau nggak.”

“Aku tau kok. Kan kamu ngasih izin buat aku ngelakuin apapun yang aku mau.”

Tertawalah Lycaon mendengarnya. Rendah, pelan, sebentar. Hugo benar, dia memang mengizinkan, bahkan berharap . Disembunyikannya wajah di antara lekuk leher lelaki itu. Lycaon biarkan dirinya lebur, hancur, demi dapat dibangun ulang bersama seseorang yang dia inginkan.


Pagi datang seperti biasa, hanya saja kali ini, terasa lebih tenteram.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Lycaon tidak bangun dari tidur dengan perasaan asing di dada. Ada kantuk yang masih menggantung, ada mual ringan yang datang dan pergi, tetapi tidak ada lagi kegelisahan yang menindih napasnya sejak malam tadi.

Dia merasa utuh, seolah segala sesuatu yang sebelumnya tercerai-berai, kini perlahan menyatu.

Satu tangannya terulur, menyentuh perut sendiri── lambat dan tenang, selayaknya menguji kenyataan . Dan, disampingnya, duduklah Hugo, masih dalam kaus lusuh dan surai acak-acakan, memandang pantulan mereka berdua melalui cermin kamar yang sedikit berembun.

“Aku mau siap-siap, tapi ngantuk banget masihan,” gumam Hugo dengan suara serak, separuh menguap.

Lycaon tidak menjawab segera. Dia pandangi punggung Hugo dari balik selimut. Mata menelusuri garis bahu yang lesu, namun damai. Menakar sejauh mana cinta itu bekerja── melalui ketulusan cinta yang terpantul di cermin pagi itu .

“Ngapain siap-siap jam segini? Janji ke dokter kan jam satu nanti,” ucap Lycaon, suaranya pelan tak kalah serak. Sama-sama baru bangun tidur soalnya .

Hugo menoleh, permatanya yang sendu sedikit menyipit karena cahaya yang lancang melesak masuk melalui celah tirai serta jendela kamar, “aku takut kamu kabur.”

“Ini kos aku, mau kabur kemana coba.” Sahut Lycaon, mengerutkan alis, merubah posisi dari baring menjadi duduk. Suara Lycaon sekarang ini menggoda, tetapi tidak bisa sepenuhnya mengubur sisa kegugupan yang masih tertinggal dalam hati.

“Aku tau,” Hugo tersenyum kecil, “tapi kamu pernah ninggalin aku ya waktu kita lulus. Sekarang aku kayak trauma, tau ngga?”

“Masih aja dibahas,” satu detik, dua detik, tiga detik sunyi mengisi ruang jarak antara mereka, “sebenernya aku udah dimaafin atau belum deh.”

“Udah!” Jawab Hugo cepat, “aku udah maafin kamu dari lama. Salah aku juga soalnya waktu itu. Cuma aku ngga bisa berhenti takut kamu bakal pergi lagi. Makanya aku ngehamilin kamu deh.”

“Hah? Sebentar. Jadi ini biar aku nggak bisa lari?”

“Iya?” Hugo menggaruk tengkuk, salah tingkah sedikit, “kebetulan kamu ngasih izin, kebetulan aku kepikiran kalau kehamilan juga cara mengikat. Aku mikirnya, kalau kamu hamil, kamu bakal lebih peduli sama diri kamu sendiri daripada ambisi. Terus kamu bakal bertahan sama aku, bakal terbuka, bakal jujur, bakal memulai duluan juga, ngga keras kepala. Ya pokoknya aku pernah baca, anak bisa mengubah banyak hal.”

Lycaon menunduk mendengarkan. Bukan karena dia tertegun, tidak percaya dengan pemikiran manipulatif seperti itu. Bukan pula karena dia tidak menginginkan. Justru, dia lega Hugo berjuang dengan cara itu, hanya saja── mampukah tubuhnya membawa bayi mereka?

“Dari dulu sampai sekarang. Jalan keluar kamu selalu aneh-aneh,” ucapnya, lirih, “aku suka, tapi gimana kalau hasil hari ini bilang kehamilan aku bakal bermasalah? Gimana kalau gegara itu, kamu berubah pikiran?”

“Lyca.”

Hugo bergeser usai memanggil. Dia duduk lebih dekat dengan omeganya.

“Kalau hasilnya jelek, kita hadapi bareng. Kalau kamu capek, istirahat sama aku. Kalau kamu ngga kuat, aku yang kuat buat kamu. Satu hal yang pasti, aku ngga akan berubah pikiran. Dari awal yang aku mau itu kamu.”

Lycaon memejamkan mata. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar── hanya ada detak jantung dan napas mereka di dalam kamar yang masih sejuk . Dia percaya, dia mau percaya pada Hugo, pada dirinya. Dia yakin, dia mau yakin bahwa dia selalu cukup kuat. 

Bukankah seperti itu cara dia bertahan selama Hugo tidak ada? Baik untuk ambisi atau keperluan menjadi ‘baik’.

“Aku pernah mikir,” katanya, “kalau jadi omega itu semacam kutukan? Karena setiap kali aku heat , aku jadi ‘melihat’ hal-hal yang orang lain nggak bisa lihat. Itu alasan utama aku mau jadi detektif, karena di momen kayak gitu, aku bisa ngebantu orang lain.”

Hugo mengangguk perlahan, “tapi setiap kali kamu bantu, kamu juga hancur, ya?”

Lycaon tertawa pelan, pahit, “iya, makanya waktu kamu minta aku berhenti, aku marah. Aku maunya kamu tetap ada nggak peduli apa keputusan yang aku buat. Tapi sekarang, aku takut ngebebanin mereka sama kamu karena itu.”

“Aku sayang kamu, apapun keputusan kamu. Aku sayang kamu yang hidup,” Hugo membalas cepat, “kalau kamu mau terus kejar, ya kejar. Aku bakal bantu, aku bakal ada. Tapi jangan sampai kamu hilang dari diri kamu sendiri cuma karena kamu mau jadi baik.”

Mereka terdiam sejenak. Lalu Lycaon bersandar ke bahu Hugo, mengistirahatkan kepalanya di sana selagi mencium samar aroma anggur merah tua dari kulit Hugo yang hangat.

“Aku janji nggak kabur.” Gumamnya.

“Janji?” Hugo mengecup puncak kepala Lycaon, “kalau kamu kabur, aku tata kamu pas kamu mati nanti.”

Lycaon mendengus geli, “serius banget ancamannya. Jelek.”

Tawa kecil mengudara bersama. Ringan, bukan karena segalanya sudah usai, tetapi karena setidaknya, mereka tahu; mereka tidak akan jalan masing-masing .

“Lyca,” Hugo memanggilnya kembali, kali ini serius, “kamu udah punya nama buat mereka?”

Lycaon menoleh, mengangkat kepala, ekornya berkibas, “buat bayi?”

“Tiga bayi,” Hugo menekankan, matanya mengilat lucu, “tiga dikali tiga ributnya, tiga nangisnya, tiga sayangnya.”

Lycaon menggigit bibir, mengalihkan pandang, lalu kembali berbaring dengan menarik selimut hingga ke leher, “aku belum mikir jauh, tapi aku suka nama-nama yang tenang. Nanti deh, kita cari bareng. Ada tiga, dua aku, satu kamu.”

“Hah? Itu mah bukan nyari bareng. Itu kamu bagi dua, ngga adil pula,” balasnya dengan dengus. Hugo ikut berbaring, memeluk tubuh Lycaon guna dijadikan guling, “kalau mau, satu kamu, satu aku, satu lagi kita berdua.” Bisik Hugo seraya memejamkan mata.

Dan Lycaon, dengan segenap hatinya , setuju. Toh, bagaimanapun nanti, mereka akan tetap menjemput ketiganya, bersama.

Chapter Text

Tiga bulan berlalu, dan perut Lycaon kini bukan lagi sekadar bayangan. 

Presensi mereka semakin nyata. Tampak perlahan, menyesaki bajunya, menciptakan lengkung lembut yang sulit untuk tidak disentuh setiap kali bangun tidur. Ada sesuatu yang hidup di sana── tiga janin ──dan mereka tumbuh begitu cepat, seakan-akan tubuh Lycaon adalah tempat yang mereka tahu sebagai rumah mutlak.

Tidak hanya itu. Sejak libur semester usai, sejak Lycaon kembali masuk kelas dan sekali lagi menunaikan rutinitasnya sebagai mahasiswa di bawah pendidikan polisi, tidurnya acap kali terganggu. Dia dihantui banyak mimpi buruk tanpa basis. Jasmaninya kerap menyelamatkan diri dengan mengalami demam selagi berhadapan dengan tugas-tugas berat.

Ditambah dengan perubahan hormon kehamilan, kondisi mentalnya menjadi semakin rapuh dari hari ke hari. 

Dulu, Lycaon selalu memanfaatkan sensasi panas yang menyerang tubuh untuk berempati, untuk membuat visual melalui imajinasi berhubungan TKP, untuk membantu dirinya menemukan jawaban. Dulu, dia merasa harus melakukan sesuatu yang besar, yang bermakna; bukan demi menjadi pahlawan, walau dia merasa bisa

Dulu.

Sekarang dia kehilangan kendali atas empatinya. Tidak ada kronologi peristiwa, yang ada hanya mimpi buruk sahaja. Tidak ada jawaban, yang ada hanya beban. Nilai-nilai Lycaon banyak menurun karena itu. Skor yang ingin ia pertahankan, sedikit demi sedikit membuatnya merosot.

Tidak banyak yang bisa Lycaon lakukan selain meringkuk tidak berdaya di bawah seprai sutra merah tua. Syukurnya, Hugo mengajak dia tinggal di kediamannya

Kata Hugo agar lebih mudah menjaga kalau-kalau dia sedang tidak ada, atau kalau-kalau Lycaon butuh membuat sarang dari feromonnya. Dan benar, Lycaon selalu merasa lebih aman di sini ketimbang di tempat lain, bahkan kamarnya sendiri. Secara naluriah, di dalam kamar Hugo, dia mendekam seperti bola, menyisakan bagian ujung ekornya ke luar seprai.

Bulan keempat, Lycaon lebih sering bangun paling dulu dari Hugo. Dia sudah berhenti muntah pagi-pagi sejak seminggu pertama di bulan ini, berganti ke gejala lain── napas menjadi pendek, kulit sensitif, dan bulu rontok lebih banyak . Selain daripada itu, kaki Lycaon mulai membengkak.

Mengandung tiga sekaligus benar-benar bukan perkara mudah .

Mana lagi, perasaan Lycaon bertambah resah. Segala macam hal yang menyangkut tugas, cita-cita, serta rutinitas membuat dia takut terjadi sesuatu pada mereka bertiga. Saking takutnya, kadang ingin menangis hanya karena melihat burung bertengger di kabel listrik, kadang ingin Hugo mencium lehernya lima belas kali berturut-turut tanpa alasan, kadang ingin es serut dengan sirup dicampur susu kedelai pukul dua pagi, dan kadang lagi ingin berhubungan badan hanya karena melihat Hugo melepas kancing baju bagian atas.

“Aku ngerasa bodoh banget akhir-akhir ini” Tutur Lycaon di suatu malam sambil menyentuh perutnya sendiri.

“Apa yang bikin kamu ngerasa gitu?” Tanya Hugo dari belakang tubuhnya, sedang menyisir setiap bulu Lycaon yang kusut dengan jari-jemari.

“Aku udah jarang masuk kelas, jarang ngerjain tugas karena biasanya aku ngandelin heat buat bantu aku cari jawaban. Resonansi hormonal dulu udah ngebantu sih, tapi sekarang malah bikin aku mimpi buruk, aku jadi khawatir bakal ngaruh ke mereka bertiga. Terus … permintaan aku aneh-aneh, banyak ganggu kamu.” 

Lycaon mengurai dengan terlihat gusar. Dia tidak percaya bahwa, dia dapat merasakan emosi yang konsistensi dari dirinya sendiri; stabilitas yang bikin ngeri

Berpindah ke samping, kini Hugo membelai lembut kepala Lycaon. Dia usap pula daun telinga sang omega sebelum membungkuk dan mencium dahinya, “aku ngga pernah keganggu, Lyca. Kamu loh bawa tiga manusia kecil di dalam kamu, hal yang paling minim buat aku lakukan ya ada di samping kamu.”

Suara Hugo hangat, buat Lycaon menatapnya lama.

Dia sadar, Hugo tidak pernah tinggal diam, selalu antusias untuk membantunya baik di rumah atau di luar. Tidak satu kali pun Hugo pergi dari sisinya; ikut ke klinik, ikut belanja, ikut beli baju bayi, ikut mandi, ikut bangun . Jika ada waktu Hugo harus pergi, maka itu saat dimana Lycaon memintanya membelikan sesuatu untuk dimakan tengah malam. Itu saja, tidak ada lagi.

“Soal kelas sama tugas,” lanjut Hugo berkata. Kali ini suaranya ditaburi ketetapan hati yang memang sudah berserikat dalam benak sejak hari pertama Lycaon kembali ke kampus, “gimana kalau kamu ambil cuti hamil aja?”

“Hm,” Lycaon termenung. Dia sadar dia membutuhkannya, apalagi sekarang kandung kemihnya terasa lebih sering meluap, menambah kerunyaman lain yang buat dia mudah uring-uringan. Akan tetapi, adakah jaminan mimpi buruknya berakhir setelah dia mengambil cuti? Sebab jika tidak, percuma dia meminta izin meliburkan diri.

“Aku ngga maksa loh tapi! Itu balik lagi ke keputusan kamu, apapun itu, aku bakal dukung. Aku cuma ngasih saran buat kamu pertimbangkan aja, karena siapa tau dengan menjauh dari tugas, mimpi buruknya berhenti.”

“Aku tau kamu nggak maksa, Hugo,” ucapnya, diselingi helaan napas, “aku cuma lagi mikir, kalau nggak berhenti juga gimana? Bakal sia-sia aku cuti.”

“Menurut aku ngga bakal sia-sia. Kamu emang butuh istirahat lebih banyak, kan. Terus juga, setidaknya kalau kamu cuti, masalah yang kita pikirin cuma satu, mimpi buruk kamu. Nah, kalau kamu ngga cuti? Banyak yang kita pikirin, dari tugas, makalah, skor, latihan ke lapangan, wawancara, ini, itu. Percuma juga masuk kalau nilai kamu ngga sesuai sama apa yang kamu mau gegara kamunya ngga maksimal.” Jelas Hugo.

Begitu masuk akal hingga Lycaon tersenyum lega, menemukan jawaban tanpa harus berpikir keras. Ah, rasanya dia bisa mulai mempercayakan Hugo untuk membuat keputusan .

“Kamu atur deh.” Pintanya.

Senyum mengembang lebih lebar, Hugo mengusap-usap kepala Lycaon dengan cepat sekarang, “aku bakal cuti juga! Biar kamu ngga sendirian~”

“Ngaco!” Sahut Lycaon, cepat, “ngapain ikutan? Aku aja yang cuti, kamu nggak usah. Emang kamu hamil juga?!”

“Aku yang bikin hamil.”

“Enggak,” buru-buru Lycaon berbaring dengan menarik selimut hingga ke leher, “kamu harus lulus tepat waktu, dapat kerjaan bagus, gaji tetap. Kamu calon ayah, bukan anak remaja impulsif. Jangan bodoh deh.”

“Aku masih ada warisan orang tua aku,” ujar Hugo, tapi dia diam setelahnya. Tersenyum mengiang kata ‘ calon ayah ’ serentak memperhatikan tengkuk belakang Lycaon, “kalau ada apa-apa, janji langsung ngasih tau ya? Jangan ragu cuma gegara aku lagi kelas.”

“Mhm.” Lycaon berdeham. Degup jantungnya luar biasa berdebar mendengar Hugo, memikirkan kalimatnya sendiri, dan mencium feromon yang jelas dia tahu, Hugo kesenangan.


Pemeriksaan awal bulan kelima tiba di hari berangin.

Pohon-pohon berdengung lembut di halaman klinik, seumpama menggigil dalam bisikan musim yang menghilir. Suasana dunia cukup dingin, kendati demikian, Lycaon tetap berkeringat. Entah karena hormonnya atau karena dia gugup; tidak ada satu yang benar-benar bisa dia pastikan .

Hugo di samping membantu dengan mengemuka giat. Dia membawa tas, membukakan pintu, mengingatkan dengan suara rendah, “minum dulu sebelum tes urin, Lyca.”

Lycaon hanya mengangguk saja. Dia duduk di ruang tunggu, menunduk dengan tubuh terasa berat── bukan karena janin yang tumbuh dalam diri, melainkan karena ketegangan yang tidak tahu harus disimpan di mana selain di wajah dan bahu .

Duduklah mereka berdampingan ketika Hugo membukakan tutup botol air minum dan memberikannya pada Lycaon. 

Sunyi ruangan membuat suara detak jam dinding tersiar, mengalahkan kerumunan pasien yang juga sedang menanti giliran. Di seberang mereka, seorang beta paruh baya membaca majalah lusuh. Di sampingnya, sepasang alpha omega yang jauh lebih muda bersandar dengan tangan bertaut── omega itu mengelus perutnya yang sudah besar, dan Lycaon tanpa sadar menatap pemandangan itu lama .

Tiba-tiba, … tangannya digenggam.

Sehabis minum, sehabis mengembalikan botol air, sehabis melamun serta bertanya-tanya; kapan jari-jemarinya bisa bertaut serupa itu juga dengan Hugo-nya ── tangannya digenggam.

Genggaman hangat. Kokoh.

Genggam yang ia kira akan terputus saat nama mereka dipanggil, ternyata menguat, seakan-akan menandai batas antara gugup dan keberanian, antara takut dan harapan.

Melangkahlah mereka ke dalam ruang praktik. Dokter paruh baya yang sama dari bulan pertama menyambut mereka dengan ramah. Senyumnya membuat suasana lebih tenang, lebih manusiawi.

“Gimana kabarnya? Semoga ngga ada flek atau kontraksi awal.”

Lycaon mengangguk pelan, lalu tanpa menunggu diminta, tubuhnya berbaring perlahan di atas matras demi pemeriksaan. Sementara itu, Hugo duduk di kursi samping ranjang. Badannya condong sedikit ke depan untuk dapat ikut melihat layar monitor kecil di sisi lain Lycaon.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya sampai suara detak halus serta denyut dari monitor memecah senyap. Lantang ketiganya terpencar, serupa lagu rahim yang dilantunkan dalam silir-semilir. Indah. Manis.

“Kondisinya stabil semua,” kata dokter, akhirnya, “jenis kelaminnya juga udah kelihatan. Mau tau sekarang atau jadi kejutan?”

“Sekarang.” Baik Lycaon maupun Hugo. Keduanya serentak memberi jawaban, membuat sang dokter membalik layar monitor dan memberi unjuk kepada mereka, “yang ini, perempuan,” di bagian tengah, terhimpit dua saudaranya, “di sebelah kanan, laki-laki. Dan, sebelah kiri, …” tuan geser perlahan-lahan, melewati bayi tengah lagi, “... laki-laki juga. Cantik susunannya.”

Senyum dari dokter ialah dunia yang mendadak diam.

Lycaon hanya menatap layar itu. Memperhatikan tiga bagian kecil yang bergerak dalam cairan gelap. Kehidupan yang semakin lama semakin nyata. Bayi. Anak-anak. Buah dari tubuhnya. Tali jiwa dari alphanya. 

Dia dapat bersumpah, air matanya jarang sekali turun, jarang sekali pecah. Tidak saat bingung. Tidak saat menaruh empati. Tidak saat intuisinya menjadi tajam. Tidak saat sakit.

Tetapi, sekarang, mata Lycaon memanas. Hatinya bagai melonjak ke tenggorokan, membentuk batu hingga tidak ada satu patah kata yang biasa dikeluarkan. Padahal dia selalu melalui empat kali pemeriksaan, empat kali tahapan, dan entah bagaimana, hari ini lebih membuatnya emosional sampai-sampai kristal air matanya jatuh lebih cepat dari tangan yang terangkat guna menutup wajah.

Tiga … anak dengan Hugo. Hugo-nya.

“Kita bakal capek banget, ya?” Gumam Hugo, memecah sunyi.

Dokter tertawa ringan, “pasti, tapi kalau boleh jujur, keajaiban kayak gini ngga sering terjadi. Tiga-tiganya terlihat tumbuh normal, sehat. Sekarang tinggal keputusan kalian … kapan melakukan penandaan? Karena sekarang tubuh Lycaon udah cukup kuat.”

Lebih dari yang tadi, kali ini hening lebih terasa dari sebelumnya.

Ucapan dokter menggantung di udara bak bara yang belum padam. Ada panas samar yang perlahan menyala dari balik kerah baju Hugo, dan ada Lycaon yang tidak berani menaruh atensi padanya.

“Tapi,” lanjut sang dokter, mengisi gantungannya sendiri, “mulai minggu ini juga sudah aman kalau kalian mau berhubungan intim. Asal dengan lembut, ngga ada tekanan di perut. Pastikan posisi kalian juga baik, ada bukunya di meja, nanti bisa ambil satu buat baca-baca.”

Lycaon menahan napas. Kalimat itu── sederhana, tetapi mampu mengguncang isi dada .

“Kalau kamu belum mau,” bisik Hugo pelan di lorong begitu mereka keluar dari ruang praktik, “aku ngga akan maksa. Tapi kamu tau kan? Kamu tetep cantik buat aku mau gimanapun kamu. Bahkan ya, bahkan, kamu bilang perut kamu gede, bakal aneh, bakal bikin kamu kelihatan kayak bukan kamu, aku tetep mau nyentuh kamu sih. Tapi! Tapi … cuma kalau kamu mau.”

“Kamu bilang gitu terus,” tangan Lycaon mencari jalan menggenggam jari telunjuk Hugo, “mana mungkin aku nggak mau. Aku kan yang paling butuh itu kemarinan.” Dia bawa telapak tangan Hugo ke perutnya.

“Dua laki-laki,” katanya lagi, pelan, “satu perempuan. Menurut kamu, wajahnya bakal lebih mirip siapa?”

“Kalau mirip kamu, aku ngga akan protes,” Hugo mengusap perut Lycaon sebelum memindahkannya ke ujung telinga sang omega untuk dicubit pelan, “tapi kalau mirip aku, kamu pasti bakal protes. Jadi, mirip kamu aja, aku ngga papa.”

“Sok tau,” cibir Lycaon, pelan, diakhiri tawa ringan, “aku berharap mirip kamu, soalnya kamu juga ada cantiknya.”

Bukan satu dua kali Lycaon buat pipi Hugo memerah, tetapi kali ini, rasanya panas di wajah lebih berat sampai-sampai menjalar ke daun telinga. Salah tingkah.

“Kita harus mulai cari nama.”

“Iya.”

Kendati demikian, hari bergulir sunyi, tanpa ada kata yang terucap.

Tidak ada kalimat yang memperantarai keputusan. Tidak ada diskusi atau pengulangan tentang percakapan siang tadi. Satu-satunya yang ada hanya gulir waktu serta aroma tubuh Lycaon──f rustasi, sebab sejak pulang dari klinik tadi, putingnya terus menangisi asi, kemaluannya terus banjir dengan pra-ejakulasi, dan lubangnya terus basah dari kebutuhan diisi .

Feromon Lycaon pun kian menguar dari pori-pori, memenuhi ruang kamar Hugo dengan raksi tubuh yang tidak lagi sabar menahan. Tidak ada kata selain gelombang panas yang menyusutkan kendali dan membakar naluri. Tidak ada apa-apa sampai Hugo masuk ke dalam kamar.

Ah, suara langkah kaki Hugo, detak Hugo, hembusan napas Hugo, semua terdengar lebih berat karena menyambut feromon bak labu panggang; aroma yang seolah mengatakan bahwa, tubuh Lycaon siap dihuni .

Berdirilah dia, di ambang pintu, dengan surai basah tergerai habis mandi, kaos longgar berbahan katun, serta celana training tipis yang gagal menyembunyikan apa pun di baliknya. Merah dan abu-abu ratna Hugo langsung tertuju pada Lycaon. Tidak ke wajah, tidak ke kaki, tetapi ke payudara yang nyaris lolos dari kain tipis baju tidur itu.

Bisa-bisanya mengenakan baju rumbai setipis itu untuk memancing  tanpa benar-benar meminta. Bisa-bisanya membiarkan puting merah muda yang mengeras, basah tersapa udara. Dan, bisa-bisanya lengan polos itu menopang perut bulat muda dengan dihias ekspresi wajah rentan .

Hugo tidak bicara. Tidak harus. Bahkan Lycaon tidak bisa memaksakan suara, kan? Jadi, dia putuskan hanya menatap, memperhatikan Lycaon yang perlahan-lahan menggerakkan tangan, menghampiri puting dengan jari-jemari untuk kemudian diberi tekanan hingga susunya tampak lebih bocor.

“Aku nggak tau,” katanya, barulah bersuara, “ini harus gimana. Basah banget, Hugo.”

Mendekatlah Hugo dengan cepat, dengan napas memburu. Dia sibak kain tipis yang tak ada gunanya itu dan membuang ke lantai. 

Satu tangan Hugo menahan tengkuk Lycaon. Bibir menemukan jalan untuk mencium ranum manis omeganya. Salah satu lutut menekuk di sisi samping ranjang tempat Lycaon berbaring. Kaki lain masih menapak di atas lantai, menopang tubuh. Dan, tangan yang bebas meraba-raba sebelah payudara penuh sang omega sebelum dia remas, dia tarik tonjolan yang keras, lantas memerasnya hingga susu mengalir sedikit lebih banyak.

Nnh──! ! ” Lycaon mengerang di sela ciuman. Kepalanya menengadah sementara Hugo menunduk. 

Mata Lycaon terpejam, sebab walau sikapnya tidak tahu malu, tatapannya terlalu malu untuk saling memandang.

Mmh── ” Lenguh kembali terurai. 

Satu tangan Lycaon meremas ujung kaos longgar, lalu tangan lainnya menyelinap masuk tanpa permisi ke dalam celana Hugo. Demi mengalihkan perhatian dari rasa sakit kala kuncup merah mudanya dibuat main oleh sang alpha. Lycaon mulai memijit panjang Hugo yang sudah berereksi itu.

Dia bawa kemaluan Hugo keluar melalui karet celana. Dia usap dari pangkal ke ujung sebelum membaluri cairan pre-cum Hugo di sekitar bagian kepala. Ciuman masih berlangsung selama itu, tidak lama sebab intensitas sentuhan Lycaon bertambah, dan keinginan untuk mencicipi air susu Lycaon meninggi.

“Sayang,” panggil Hugo kemudian. Dia pindahkan tangan dari belakang tengkuk ke sisi wajah Lycaon, menyusup ke leher, lalu berhenti di bahu yang sudah telanjang, “kamu wangi banget,” katanya sambil memandang dengan tatapan sayu, penuh nafsu, “aku nyusu boleh?”

Lycaon menelan saliva. Tidak langsung memberi jawaban sebab, disentuh saja sudah sensitif rasanya, apalagi … menyusui Hugo . Walau begitu, ketika dia membalas tatapan sayu itu, dia tidak tega. Hati ingin sekali menuruti apapun yang air muka Hugo itu beri padanya.

“Boleh,” ucapnya sambil memindahkan tangan dari ereksi Hugo ke pinggang, “tapi sambil masukin aku.” Pinta Lycaon.

Hugo menurut.

Dia posisikan tubuh di belakang Lycaon yang berbaring menyamping. Dia bantu angkat satu kaki Lycaon sebelum mengarahkan penis tebalnya ke lubang yang sudah terlalu becek. Kenyataannya, walau sudah lama tak berhubungan badan, kemaluan Hugo masih tetap bisa melesak masuk dengan mudah ke dalam.

Tanpa tekanan. Tanpa hentakan. Murni secara lambat, seolah membiarkan setiap inci dari panjangnya meregangkan lubang hingga tenggelam.

Aahh . . ! Enak . . Hugo hhh. ” Lycaon menyatakan, menikmati cara panjang serta besar Hugo mengisi ruang dalam rongga liangnya. 

Posisi bahu Lycaon sekarang menyentuh dada Hugo. Dia angkat satu tangan agar wajah Hugo dapat bertamu dengan mudah ke payudaranya. Tidak begitu nyaman, tetapi ketika mulut Hugo terbuka, lidahnya terjulur, dan puting Lycaon disapu dalam satu jilatan hangat, tubuh Lycaon bergetar.

Dia sensitif, terlalu sensitif

Bulu-bulunya dengan cepat meremang tatkala Hugo masukkan kuncup merah mudanya ke dalam mulut dan mulai menyusu. Tangan Hugo yang tidak berada di kaki Lycaon atau pangkal kemaluan meluncur melalui celah lengkung punggung Lycaon menuju ke dada satunya.

Sambil terpejam, merasakan setiap tetes asi yang keluar, Hugo memijat puting Lycaon yang mengencang. Ia remas, ia tarik pula hingga cairan putih susu mengalir turun dan membasahi seprai ranjangnya.

Haah . . haa Hugo . . terus── enak hh~!

Tangan Lycaon yang tidak terangkat menjalar ke puncak kepala Hugo. Dia remas surai pirang sang alpha selagi kelegaan dan kenikmatan mengalir dari dua putingnya. Pikiran Lycaon dengan cepat menjadi kabur saat dia membiarkan dirinya tersungkur di bawah kendali Hugo.

Setelah cukup lama menyusu, dengan satu tarikan gigitan serta cubitan, Hugo berhasil membuat susu Lycaon muncrat dalam jumlah yang lebih banyak. Ruang kamar yang mula-mula sudah pekat aromanya dengan feromon labu panggang serta kayu manis kini dipenuhi aroma susu yang lembut jua.

Dalam beberapa lengkungan kecil, cairan susu yang mengalir semakin membasahi bulu-bulu Lycaon serta kaos Hugo.

“Asin.” Hugo akhirnya mengungkap kata.

“Haah . .” Lycaon akhirnya melenguh lega, “enak banget. Dada aku nggak seberat yang tadi sekarang.”

“Mhm,” Hugo jilat bibir yang masih menjejakan cairan asi selagi memindahkan tangan dari paha Lycaon ke puting susu yang habis dihisapnya, “tapi aku ngerasa bersalah, nyuri makanan anak-anak kita.” Katanya sambil menarik kedua puting susu ke bawah, memerah Lycaon dengan efektif dan mengarahkan aliran susunya untuk mengalir, mengikuti lekuk perut Lycaon.

Mmhm, nggak, . . hh── ” sahut Lycaon, susah payah . Dia turunkan kakinya dan membenarkan posisi menjadi membelakangi Hugo selagi sudut putingnya diatur agar bocor ke arah tertentu, “ kamu nggak ngerasa bersalah , kamu suka, Hugo.

Sebab kalimat itulah, Hugo tertawa pelan, sebentar. Rasanya seperti ketahuan mencuri, tetapi tidak membuatnya menyesal, alih-alih ketagihan.

“Banget. Aku mau lagi sebelum nanti direbut.”

“Aku juga mau,” balas Lycaon serentak memindahkan tangan ke belakang menuju pinggul Hugo, “aku mau ditandai sekarang terus diisi, lagi.”

Sekarang.

Hugo berhenti memerahnya. Mengerti dengan permintaan tegas yang datang untuknya. Tak lama, seringai terukir. Dia pindahkan kedua tangan melingkar di bagian bawah perut Lycaon.

“Kalau sakit, bilang, ya?”

Lycaon mengangguk. Jawaban yang cukup buat Hugo mencium.

Mencium seperti seseorang yang berpuasa terlalu lama. Mulai dari belakang kepala, daun telinga, sisi leher, dan berakhir di bagian tengkuk; tempat kelenjar feromon omega berada .

Lidah Hugo kembali terjulur, menyapu dengan penuh kelaparan yang disamarkan bagai kelembutan. Satu tangan setia mengalung, tangan lain mulai mengusap perut Lycaon dengan ringan, menenangkan denyut yang sejak tadi berontak, seakan-akan mereka bertiga tahu, mama-nya tidak sabar mau tanda .

Jari-jemari Lycaon mulai mencengkeram seprai. Berjaga-jaga dari apapun rasa yang mungkin akan datang nanti. Tubuh Lycaon menggeliat dengan mata separuh tertutup, “gigit,” desisnya, “jangan ngulur.”

Dia kecup kulit bagian atas kelenjar lebih dahulu. Kemudian di sampingnya, dia menjilat, memastikan sudah cukup melembutkan kelenjar omeganya itu. Dan, lalu, ketika tubuh Lycaon bergidik , perlahan-lahan, taringnya turun.

Patuh. Menembus.

Sekali, dalam satu gerakan penuh. Terasa nyata bagaimana gigi tajam Hugo mengoyak lapisan paling lunak dari tubuh Lycaon. Darah mengalir. Feromonnya meledak seperti sirup manis yang mendidih dalam rongga dada.

Dan, walau Hugo sudah memastikan feromonnya mengayun pekat di udara, tetap saja, Lycaon menjerit, tercekik, telapak tangannya meremas seprai, dan bulu di ekornya mengembang.

Rasanya sakit. Rasanya panas. Membakar tulang leher hingga ke punggung.

Tangis Lycaon pecah. Bukan tangis kesakitan semata, tetapi tangis yang dilepas dari luka-luka lama. Dari penyesalan pernah meninggalkan. Dari bingung yang sempat bersemayam. Dari rasa takut dibuang.

Air matanya benar-benar tidak dapat dicegah. Kala feromonnya menyatu dengan feromon Hugo. Kala darahnya dihisap oleh Hugo. Kala lubangnya menghimpit panjang ereksi Hugo. Lycaon menangis, sejadi-jadi.

Kendati begitu, dia tidak ingin Hugo berhenti sebab, dengan ini, semua rasa itu akhirnya meletup. Cinta. Kepemilikian. Rasa cukup. Aman. Nyaman.

Akhirnya, dia bukan hanya diinginkan. Dia diikat. Ditandai. Dirangkul seutuhnya.

“Aku sayang kamu,” bisik Hugo begitu gigitannya selesai. Dia dekap erat-erat tubuh Lycaon yang── sayang ──wajahnya belum bisa dipandang. Walau begitu, Hugo tahu; dia bisa tahu ekspresi wajah apa yang Lycaon lukis sekarang .

Di sisi depan, Lycaon bersumpah mampu merasakan feromon Hugo mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Selayaknya arus sungai. Aroma anggur tua, kayu manis hangus, dan tembakau basah mengisi paru-paru, mengalir dalam nadi, menembus hingga rahim tempat tiga kehidupan kecil sedang tumbuh.

Sebuah garis ditarik dalam diri, halus dan abadi. Sebuah penandaan.

“Aku sayang kamu banget.” Bisik Hugo, lagi . Tidak menggerakkan pinggul. Tidak mendorong. Hanya membiarkan ereksinya terbenam dalam hangat, sempit, serta basahnya liang Lycaon.

“Aku juga,” ucap Lycaon setelah isak tangisnya mereda, “aku juga sayang kamu, Hugo.” Kalimatnya menyempurnakan, membuat mereka, untuk pertama kalinya , tidak merasa takut.

“Aku mau kita jadi keluarga, sampai tua nanti.” Hugo berkata.

Lycaon menarik napas dalam-dalam, air matanya masih mengalir dari sisa perih yang menyengat, “pasti. Kamu udah jadi rumah kan sekarang.” Bisik Lycaon, gemetar. Dia pindahkan tangannya menggenggam tangan Hugo.

Dan Hugo, dalam napas panjang yang akhirnya stabil dari kekhawatiran, menjawab lirih, “kamu juga rumah, Lyca. Rumah aku sama mereka.”

“Mhm,” berdeham Lycaon serentak menundukkan kepala. Dia usap punggung tangan Hugo seraya memperhatikan perutnya dengan pandangan buram akibat air mata, “aku sayang banget sama kamu, Hugo.

Dan malam itu, tanpa kata penutup, dunia memberi mereka ruang untuk menjadi satu. Bukan hanya karena nafsu. Bukan hanya karena alpha dan omega. Bukan hanya Hugo dan Lycaon. Tetapi kesatuan yang memberi tanda akan dua sukma saling butuh,  bertahan, percaya, dan ada.

Tentang dua orang yang akhirnya tahu; pulang itu nyata.

Tubuh Lycaon dibawa ke batas paling rapuh oleh Hugo, paling peka. Tubuhnya menyusu, mengucur, dan menerima. Dia dipenuhi sepenuhnya, dibanjiri cinta dan cairan hingga tak berhenti-henti mendesah sepanjang malam.

Dan, itu cukup .

Terlebih, ketika pagi tiba, ketika dia bangun tidur, mimpi buruk yang dulu ia pikir akan terus menjadi hantu menghilang. Tidak menyisakan apa-apa selain kenyenyakan. Jadi, untuk sekarang, itu lebih dari cukup.

Mereka mungkin akan bertengkar lagi nanti. Mereka akan saling menyakiti, mungkin . Tetapi mereka juga akan bangun pagi bersama. Akan menyuapi satu sama lain. Akan menenangkan ketiga tangisan bayi yang belum lahir. Akan memikirkan nama-nama, membeli baju-baju kecil, mempersiapkan tiga ranjang, dan mengingat-ingat semua yang sudah berlalu.

Tapi untuk sekarang, biarlah mereka merasa penuh dan ditambatkan. Biarlah mereka berpikir, kalau ini bukan cinta, maka mereka tidak ingin tahu lagi artinya apa.