Chapter Text
Tiga bulan berlalu, dan perut Lycaon kini bukan lagi sekadar bayangan.
Presensi mereka semakin nyata. Tampak perlahan, menyesaki bajunya, menciptakan lengkung lembut yang sulit untuk tidak disentuh setiap kali bangun tidur. Ada sesuatu yang hidup di sana── tiga janin ──dan mereka tumbuh begitu cepat, seakan-akan tubuh Lycaon adalah tempat yang mereka tahu sebagai rumah mutlak.
Tidak hanya itu. Sejak libur semester usai, sejak Lycaon kembali masuk kelas dan sekali lagi menunaikan rutinitasnya sebagai mahasiswa di bawah pendidikan polisi, tidurnya acap kali terganggu. Dia dihantui banyak mimpi buruk tanpa basis. Jasmaninya kerap menyelamatkan diri dengan mengalami demam selagi berhadapan dengan tugas-tugas berat.
Ditambah dengan perubahan hormon kehamilan, kondisi mentalnya menjadi semakin rapuh dari hari ke hari.
Dulu, Lycaon selalu memanfaatkan sensasi panas yang menyerang tubuh untuk berempati, untuk membuat visual melalui imajinasi berhubungan TKP, untuk membantu dirinya menemukan jawaban. Dulu, dia merasa harus melakukan sesuatu yang besar, yang bermakna; bukan demi menjadi pahlawan, walau dia merasa bisa .
Dulu.
Sekarang dia kehilangan kendali atas empatinya. Tidak ada kronologi peristiwa, yang ada hanya mimpi buruk sahaja. Tidak ada jawaban, yang ada hanya beban. Nilai-nilai Lycaon banyak menurun karena itu. Skor yang ingin ia pertahankan, sedikit demi sedikit membuatnya merosot.
Tidak banyak yang bisa Lycaon lakukan selain meringkuk tidak berdaya di bawah seprai sutra merah tua. Syukurnya, Hugo mengajak dia tinggal di kediamannya .
Kata Hugo agar lebih mudah menjaga kalau-kalau dia sedang tidak ada, atau kalau-kalau Lycaon butuh membuat sarang dari feromonnya. Dan benar, Lycaon selalu merasa lebih aman di sini ketimbang di tempat lain, bahkan kamarnya sendiri. Secara naluriah, di dalam kamar Hugo, dia mendekam seperti bola, menyisakan bagian ujung ekornya ke luar seprai.
Bulan keempat, Lycaon lebih sering bangun paling dulu dari Hugo. Dia sudah berhenti muntah pagi-pagi sejak seminggu pertama di bulan ini, berganti ke gejala lain── napas menjadi pendek, kulit sensitif, dan bulu rontok lebih banyak . Selain daripada itu, kaki Lycaon mulai membengkak.
Mengandung tiga sekaligus benar-benar bukan perkara mudah .
Mana lagi, perasaan Lycaon bertambah resah. Segala macam hal yang menyangkut tugas, cita-cita, serta rutinitas membuat dia takut terjadi sesuatu pada mereka bertiga. Saking takutnya, kadang ingin menangis hanya karena melihat burung bertengger di kabel listrik, kadang ingin Hugo mencium lehernya lima belas kali berturut-turut tanpa alasan, kadang ingin es serut dengan sirup dicampur susu kedelai pukul dua pagi, dan kadang lagi ingin berhubungan badan hanya karena melihat Hugo melepas kancing baju bagian atas.
“Aku ngerasa bodoh banget akhir-akhir ini” Tutur Lycaon di suatu malam sambil menyentuh perutnya sendiri.
“Apa yang bikin kamu ngerasa gitu?” Tanya Hugo dari belakang tubuhnya, sedang menyisir setiap bulu Lycaon yang kusut dengan jari-jemari.
“Aku udah jarang masuk kelas, jarang ngerjain tugas karena biasanya aku ngandelin heat buat bantu aku cari jawaban. Resonansi hormonal dulu udah ngebantu sih, tapi sekarang malah bikin aku mimpi buruk, aku jadi khawatir bakal ngaruh ke mereka bertiga. Terus … permintaan aku aneh-aneh, banyak ganggu kamu.”
Lycaon mengurai dengan terlihat gusar. Dia tidak percaya bahwa, dia dapat merasakan emosi yang konsistensi dari dirinya sendiri; stabilitas yang bikin ngeri .
Berpindah ke samping, kini Hugo membelai lembut kepala Lycaon. Dia usap pula daun telinga sang omega sebelum membungkuk dan mencium dahinya, “aku ngga pernah keganggu, Lyca. Kamu loh bawa tiga manusia kecil di dalam kamu, hal yang paling minim buat aku lakukan ya ada di samping kamu.”
Suara Hugo hangat, buat Lycaon menatapnya lama.
Dia sadar, Hugo tidak pernah tinggal diam, selalu antusias untuk membantunya baik di rumah atau di luar. Tidak satu kali pun Hugo pergi dari sisinya; ikut ke klinik, ikut belanja, ikut beli baju bayi, ikut mandi, ikut bangun . Jika ada waktu Hugo harus pergi, maka itu saat dimana Lycaon memintanya membelikan sesuatu untuk dimakan tengah malam. Itu saja, tidak ada lagi.
“Soal kelas sama tugas,” lanjut Hugo berkata. Kali ini suaranya ditaburi ketetapan hati yang memang sudah berserikat dalam benak sejak hari pertama Lycaon kembali ke kampus, “gimana kalau kamu ambil cuti hamil aja?”
“Hm,” Lycaon termenung. Dia sadar dia membutuhkannya, apalagi sekarang kandung kemihnya terasa lebih sering meluap, menambah kerunyaman lain yang buat dia mudah uring-uringan. Akan tetapi, adakah jaminan mimpi buruknya berakhir setelah dia mengambil cuti? Sebab jika tidak, percuma dia meminta izin meliburkan diri.
“Aku ngga maksa loh tapi! Itu balik lagi ke keputusan kamu, apapun itu, aku bakal dukung. Aku cuma ngasih saran buat kamu pertimbangkan aja, karena siapa tau dengan menjauh dari tugas, mimpi buruknya berhenti.”
“Aku tau kamu nggak maksa, Hugo,” ucapnya, diselingi helaan napas, “aku cuma lagi mikir, kalau nggak berhenti juga gimana? Bakal sia-sia aku cuti.”
“Menurut aku ngga bakal sia-sia. Kamu emang butuh istirahat lebih banyak, kan. Terus juga, setidaknya kalau kamu cuti, masalah yang kita pikirin cuma satu, mimpi buruk kamu. Nah, kalau kamu ngga cuti? Banyak yang kita pikirin, dari tugas, makalah, skor, latihan ke lapangan, wawancara, ini, itu. Percuma juga masuk kalau nilai kamu ngga sesuai sama apa yang kamu mau gegara kamunya ngga maksimal.” Jelas Hugo.
Begitu masuk akal hingga Lycaon tersenyum lega, menemukan jawaban tanpa harus berpikir keras. Ah, rasanya dia bisa mulai mempercayakan Hugo untuk membuat keputusan .
“Kamu atur deh.” Pintanya.
Senyum mengembang lebih lebar, Hugo mengusap-usap kepala Lycaon dengan cepat sekarang, “aku bakal cuti juga! Biar kamu ngga sendirian~”
“Ngaco!” Sahut Lycaon, cepat, “ngapain ikutan? Aku aja yang cuti, kamu nggak usah. Emang kamu hamil juga?!”
“Aku yang bikin hamil.”
“Enggak,” buru-buru Lycaon berbaring dengan menarik selimut hingga ke leher, “kamu harus lulus tepat waktu, dapat kerjaan bagus, gaji tetap. Kamu calon ayah, bukan anak remaja impulsif. Jangan bodoh deh.”
“Aku masih ada warisan orang tua aku,” ujar Hugo, tapi dia diam setelahnya. Tersenyum mengiang kata ‘ calon ayah ’ serentak memperhatikan tengkuk belakang Lycaon, “kalau ada apa-apa, janji langsung ngasih tau ya? Jangan ragu cuma gegara aku lagi kelas.”
“Mhm.” Lycaon berdeham. Degup jantungnya luar biasa berdebar mendengar Hugo, memikirkan kalimatnya sendiri, dan mencium feromon yang jelas dia tahu, Hugo kesenangan.
Pemeriksaan awal bulan kelima tiba di hari berangin.
Pohon-pohon berdengung lembut di halaman klinik, seumpama menggigil dalam bisikan musim yang menghilir. Suasana dunia cukup dingin, kendati demikian, Lycaon tetap berkeringat. Entah karena hormonnya atau karena dia gugup; tidak ada satu yang benar-benar bisa dia pastikan .
Hugo di samping membantu dengan mengemuka giat. Dia membawa tas, membukakan pintu, mengingatkan dengan suara rendah, “minum dulu sebelum tes urin, Lyca.”
Lycaon hanya mengangguk saja. Dia duduk di ruang tunggu, menunduk dengan tubuh terasa berat── bukan karena janin yang tumbuh dalam diri, melainkan karena ketegangan yang tidak tahu harus disimpan di mana selain di wajah dan bahu .
Duduklah mereka berdampingan ketika Hugo membukakan tutup botol air minum dan memberikannya pada Lycaon.
Sunyi ruangan membuat suara detak jam dinding tersiar, mengalahkan kerumunan pasien yang juga sedang menanti giliran. Di seberang mereka, seorang beta paruh baya membaca majalah lusuh. Di sampingnya, sepasang alpha omega yang jauh lebih muda bersandar dengan tangan bertaut── omega itu mengelus perutnya yang sudah besar, dan Lycaon tanpa sadar menatap pemandangan itu lama .
Tiba-tiba, … tangannya digenggam.
Sehabis minum, sehabis mengembalikan botol air, sehabis melamun serta bertanya-tanya; kapan jari-jemarinya bisa bertaut serupa itu juga dengan Hugo-nya ── tangannya digenggam.
Genggaman hangat. Kokoh.
Genggam yang ia kira akan terputus saat nama mereka dipanggil, ternyata menguat, seakan-akan menandai batas antara gugup dan keberanian, antara takut dan harapan.
Melangkahlah mereka ke dalam ruang praktik. Dokter paruh baya yang sama dari bulan pertama menyambut mereka dengan ramah. Senyumnya membuat suasana lebih tenang, lebih manusiawi.
“Gimana kabarnya? Semoga ngga ada flek atau kontraksi awal.”
Lycaon mengangguk pelan, lalu tanpa menunggu diminta, tubuhnya berbaring perlahan di atas matras demi pemeriksaan. Sementara itu, Hugo duduk di kursi samping ranjang. Badannya condong sedikit ke depan untuk dapat ikut melihat layar monitor kecil di sisi lain Lycaon.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya sampai suara detak halus serta denyut dari monitor memecah senyap. Lantang ketiganya terpencar, serupa lagu rahim yang dilantunkan dalam silir-semilir. Indah. Manis.
“Kondisinya stabil semua,” kata dokter, akhirnya, “jenis kelaminnya juga udah kelihatan. Mau tau sekarang atau jadi kejutan?”
“Sekarang.” Baik Lycaon maupun Hugo. Keduanya serentak memberi jawaban, membuat sang dokter membalik layar monitor dan memberi unjuk kepada mereka, “yang ini, perempuan,” di bagian tengah, terhimpit dua saudaranya, “di sebelah kanan, laki-laki. Dan, sebelah kiri, …” tuan geser perlahan-lahan, melewati bayi tengah lagi, “... laki-laki juga. Cantik susunannya.”
Senyum dari dokter ialah dunia yang mendadak diam.
Lycaon hanya menatap layar itu. Memperhatikan tiga bagian kecil yang bergerak dalam cairan gelap. Kehidupan yang semakin lama semakin nyata. Bayi. Anak-anak. Buah dari tubuhnya. Tali jiwa dari alphanya.
Dia dapat bersumpah, air matanya jarang sekali turun, jarang sekali pecah. Tidak saat bingung. Tidak saat menaruh empati. Tidak saat intuisinya menjadi tajam. Tidak saat sakit.
Tetapi, sekarang, mata Lycaon memanas. Hatinya bagai melonjak ke tenggorokan, membentuk batu hingga tidak ada satu patah kata yang biasa dikeluarkan. Padahal dia selalu melalui empat kali pemeriksaan, empat kali tahapan, dan entah bagaimana, hari ini lebih membuatnya emosional sampai-sampai kristal air matanya jatuh lebih cepat dari tangan yang terangkat guna menutup wajah.
Tiga … anak dengan Hugo. Hugo-nya.
“Kita bakal capek banget, ya?” Gumam Hugo, memecah sunyi.
Dokter tertawa ringan, “pasti, tapi kalau boleh jujur, keajaiban kayak gini ngga sering terjadi. Tiga-tiganya terlihat tumbuh normal, sehat. Sekarang tinggal keputusan kalian … kapan melakukan penandaan? Karena sekarang tubuh Lycaon udah cukup kuat.”
Lebih dari yang tadi, kali ini hening lebih terasa dari sebelumnya.
Ucapan dokter menggantung di udara bak bara yang belum padam. Ada panas samar yang perlahan menyala dari balik kerah baju Hugo, dan ada Lycaon yang tidak berani menaruh atensi padanya.
“Tapi,” lanjut sang dokter, mengisi gantungannya sendiri, “mulai minggu ini juga sudah aman kalau kalian mau berhubungan intim. Asal dengan lembut, ngga ada tekanan di perut. Pastikan posisi kalian juga baik, ada bukunya di meja, nanti bisa ambil satu buat baca-baca.”
Lycaon menahan napas. Kalimat itu── sederhana, tetapi mampu mengguncang isi dada .
“Kalau kamu belum mau,” bisik Hugo pelan di lorong begitu mereka keluar dari ruang praktik, “aku ngga akan maksa. Tapi kamu tau kan? Kamu tetep cantik buat aku mau gimanapun kamu. Bahkan ya, bahkan, kamu bilang perut kamu gede, bakal aneh, bakal bikin kamu kelihatan kayak bukan kamu, aku tetep mau nyentuh kamu sih. Tapi! Tapi … cuma kalau kamu mau.”
“Kamu bilang gitu terus,” tangan Lycaon mencari jalan menggenggam jari telunjuk Hugo, “mana mungkin aku nggak mau. Aku kan yang paling butuh itu kemarinan.” Dia bawa telapak tangan Hugo ke perutnya.
“Dua laki-laki,” katanya lagi, pelan, “satu perempuan. Menurut kamu, wajahnya bakal lebih mirip siapa?”
“Kalau mirip kamu, aku ngga akan protes,” Hugo mengusap perut Lycaon sebelum memindahkannya ke ujung telinga sang omega untuk dicubit pelan, “tapi kalau mirip aku, kamu pasti bakal protes. Jadi, mirip kamu aja, aku ngga papa.”
“Sok tau,” cibir Lycaon, pelan, diakhiri tawa ringan, “aku berharap mirip kamu, soalnya kamu juga ada cantiknya.”
Bukan satu dua kali Lycaon buat pipi Hugo memerah, tetapi kali ini, rasanya panas di wajah lebih berat sampai-sampai menjalar ke daun telinga. Salah tingkah.
“Kita harus mulai cari nama.”
“Iya.”
Kendati demikian, hari bergulir sunyi, tanpa ada kata yang terucap.
Tidak ada kalimat yang memperantarai keputusan. Tidak ada diskusi atau pengulangan tentang percakapan siang tadi. Satu-satunya yang ada hanya gulir waktu serta aroma tubuh Lycaon──f rustasi, sebab sejak pulang dari klinik tadi, putingnya terus menangisi asi, kemaluannya terus banjir dengan pra-ejakulasi, dan lubangnya terus basah dari kebutuhan diisi .
Feromon Lycaon pun kian menguar dari pori-pori, memenuhi ruang kamar Hugo dengan raksi tubuh yang tidak lagi sabar menahan. Tidak ada kata selain gelombang panas yang menyusutkan kendali dan membakar naluri. Tidak ada apa-apa sampai Hugo masuk ke dalam kamar.
Ah, suara langkah kaki Hugo, detak Hugo, hembusan napas Hugo, semua terdengar lebih berat karena menyambut feromon bak labu panggang; aroma yang seolah mengatakan bahwa, tubuh Lycaon siap dihuni .
Berdirilah dia, di ambang pintu, dengan surai basah tergerai habis mandi, kaos longgar berbahan katun, serta celana training tipis yang gagal menyembunyikan apa pun di baliknya. Merah dan abu-abu ratna Hugo langsung tertuju pada Lycaon. Tidak ke wajah, tidak ke kaki, tetapi ke payudara yang nyaris lolos dari kain tipis baju tidur itu.
Bisa-bisanya mengenakan baju rumbai setipis itu untuk memancing tanpa benar-benar meminta. Bisa-bisanya membiarkan puting merah muda yang mengeras, basah tersapa udara. Dan, bisa-bisanya lengan polos itu menopang perut bulat muda dengan dihias ekspresi wajah rentan .
Hugo tidak bicara. Tidak harus. Bahkan Lycaon tidak bisa memaksakan suara, kan? Jadi, dia putuskan hanya menatap, memperhatikan Lycaon yang perlahan-lahan menggerakkan tangan, menghampiri puting dengan jari-jemari untuk kemudian diberi tekanan hingga susunya tampak lebih bocor.
“Aku nggak tau,” katanya, barulah bersuara, “ini harus gimana. Basah banget, Hugo.”
Mendekatlah Hugo dengan cepat, dengan napas memburu. Dia sibak kain tipis yang tak ada gunanya itu dan membuang ke lantai.
Satu tangan Hugo menahan tengkuk Lycaon. Bibir menemukan jalan untuk mencium ranum manis omeganya. Salah satu lutut menekuk di sisi samping ranjang tempat Lycaon berbaring. Kaki lain masih menapak di atas lantai, menopang tubuh. Dan, tangan yang bebas meraba-raba sebelah payudara penuh sang omega sebelum dia remas, dia tarik tonjolan yang keras, lantas memerasnya hingga susu mengalir sedikit lebih banyak.
“ Nnh──! ! ” Lycaon mengerang di sela ciuman. Kepalanya menengadah sementara Hugo menunduk.
Mata Lycaon terpejam, sebab walau sikapnya tidak tahu malu, tatapannya terlalu malu untuk saling memandang.
“ Mmh── ” Lenguh kembali terurai.
Satu tangan Lycaon meremas ujung kaos longgar, lalu tangan lainnya menyelinap masuk tanpa permisi ke dalam celana Hugo. Demi mengalihkan perhatian dari rasa sakit kala kuncup merah mudanya dibuat main oleh sang alpha. Lycaon mulai memijit panjang Hugo yang sudah berereksi itu.
Dia bawa kemaluan Hugo keluar melalui karet celana. Dia usap dari pangkal ke ujung sebelum membaluri cairan pre-cum Hugo di sekitar bagian kepala. Ciuman masih berlangsung selama itu, tidak lama sebab intensitas sentuhan Lycaon bertambah, dan keinginan untuk mencicipi air susu Lycaon meninggi.
“Sayang,” panggil Hugo kemudian. Dia pindahkan tangan dari belakang tengkuk ke sisi wajah Lycaon, menyusup ke leher, lalu berhenti di bahu yang sudah telanjang, “kamu wangi banget,” katanya sambil memandang dengan tatapan sayu, penuh nafsu, “aku nyusu boleh?”
Lycaon menelan saliva. Tidak langsung memberi jawaban sebab, disentuh saja sudah sensitif rasanya, apalagi … menyusui Hugo . Walau begitu, ketika dia membalas tatapan sayu itu, dia tidak tega. Hati ingin sekali menuruti apapun yang air muka Hugo itu beri padanya.
“Boleh,” ucapnya sambil memindahkan tangan dari ereksi Hugo ke pinggang, “tapi sambil masukin aku.” Pinta Lycaon.
Hugo menurut.
Dia posisikan tubuh di belakang Lycaon yang berbaring menyamping. Dia bantu angkat satu kaki Lycaon sebelum mengarahkan penis tebalnya ke lubang yang sudah terlalu becek. Kenyataannya, walau sudah lama tak berhubungan badan, kemaluan Hugo masih tetap bisa melesak masuk dengan mudah ke dalam.
Tanpa tekanan. Tanpa hentakan. Murni secara lambat, seolah membiarkan setiap inci dari panjangnya meregangkan lubang hingga tenggelam.
“ Aahh . . ! Enak . . Hugo hhh. ” Lycaon menyatakan, menikmati cara panjang serta besar Hugo mengisi ruang dalam rongga liangnya.
Posisi bahu Lycaon sekarang menyentuh dada Hugo. Dia angkat satu tangan agar wajah Hugo dapat bertamu dengan mudah ke payudaranya. Tidak begitu nyaman, tetapi ketika mulut Hugo terbuka, lidahnya terjulur, dan puting Lycaon disapu dalam satu jilatan hangat, tubuh Lycaon bergetar.
Dia sensitif, terlalu sensitif.
Bulu-bulunya dengan cepat meremang tatkala Hugo masukkan kuncup merah mudanya ke dalam mulut dan mulai menyusu. Tangan Hugo yang tidak berada di kaki Lycaon atau pangkal kemaluan meluncur melalui celah lengkung punggung Lycaon menuju ke dada satunya.
Sambil terpejam, merasakan setiap tetes asi yang keluar, Hugo memijat puting Lycaon yang mengencang. Ia remas, ia tarik pula hingga cairan putih susu mengalir turun dan membasahi seprai ranjangnya.
“ Haah . . haa Hugo . . terus── enak hh~! ”
Tangan Lycaon yang tidak terangkat menjalar ke puncak kepala Hugo. Dia remas surai pirang sang alpha selagi kelegaan dan kenikmatan mengalir dari dua putingnya. Pikiran Lycaon dengan cepat menjadi kabur saat dia membiarkan dirinya tersungkur di bawah kendali Hugo.
Setelah cukup lama menyusu, dengan satu tarikan gigitan serta cubitan, Hugo berhasil membuat susu Lycaon muncrat dalam jumlah yang lebih banyak. Ruang kamar yang mula-mula sudah pekat aromanya dengan feromon labu panggang serta kayu manis kini dipenuhi aroma susu yang lembut jua.
Dalam beberapa lengkungan kecil, cairan susu yang mengalir semakin membasahi bulu-bulu Lycaon serta kaos Hugo.
“Asin.” Hugo akhirnya mengungkap kata.
“Haah . .” Lycaon akhirnya melenguh lega, “enak banget. Dada aku nggak seberat yang tadi sekarang.”
“Mhm,” Hugo jilat bibir yang masih menjejakan cairan asi selagi memindahkan tangan dari paha Lycaon ke puting susu yang habis dihisapnya, “tapi aku ngerasa bersalah, nyuri makanan anak-anak kita.” Katanya sambil menarik kedua puting susu ke bawah, memerah Lycaon dengan efektif dan mengarahkan aliran susunya untuk mengalir, mengikuti lekuk perut Lycaon.
“ Mmhm, nggak, . . hh── ” sahut Lycaon, susah payah . Dia turunkan kakinya dan membenarkan posisi menjadi membelakangi Hugo selagi sudut putingnya diatur agar bocor ke arah tertentu, “ kamu nggak ngerasa bersalah , kamu suka, Hugo.”
Sebab kalimat itulah, Hugo tertawa pelan, sebentar. Rasanya seperti ketahuan mencuri, tetapi tidak membuatnya menyesal, alih-alih ketagihan.
“Banget. Aku mau lagi sebelum nanti direbut.”
“Aku juga mau,” balas Lycaon serentak memindahkan tangan ke belakang menuju pinggul Hugo, “aku mau ditandai sekarang terus diisi, lagi.”
Sekarang.
Hugo berhenti memerahnya. Mengerti dengan permintaan tegas yang datang untuknya. Tak lama, seringai terukir. Dia pindahkan kedua tangan melingkar di bagian bawah perut Lycaon.
“Kalau sakit, bilang, ya?”
Lycaon mengangguk. Jawaban yang cukup buat Hugo mencium.
Mencium seperti seseorang yang berpuasa terlalu lama. Mulai dari belakang kepala, daun telinga, sisi leher, dan berakhir di bagian tengkuk; tempat kelenjar feromon omega berada .
Lidah Hugo kembali terjulur, menyapu dengan penuh kelaparan yang disamarkan bagai kelembutan. Satu tangan setia mengalung, tangan lain mulai mengusap perut Lycaon dengan ringan, menenangkan denyut yang sejak tadi berontak, seakan-akan mereka bertiga tahu, mama-nya tidak sabar mau tanda .
Jari-jemari Lycaon mulai mencengkeram seprai. Berjaga-jaga dari apapun rasa yang mungkin akan datang nanti. Tubuh Lycaon menggeliat dengan mata separuh tertutup, “gigit,” desisnya, “jangan ngulur.”
Dia kecup kulit bagian atas kelenjar lebih dahulu. Kemudian di sampingnya, dia menjilat, memastikan sudah cukup melembutkan kelenjar omeganya itu. Dan, lalu, ketika tubuh Lycaon bergidik , perlahan-lahan, taringnya turun.
Patuh. Menembus.
Sekali, dalam satu gerakan penuh. Terasa nyata bagaimana gigi tajam Hugo mengoyak lapisan paling lunak dari tubuh Lycaon. Darah mengalir. Feromonnya meledak seperti sirup manis yang mendidih dalam rongga dada.
Dan, walau Hugo sudah memastikan feromonnya mengayun pekat di udara, tetap saja, Lycaon menjerit, tercekik, telapak tangannya meremas seprai, dan bulu di ekornya mengembang.
Rasanya sakit. Rasanya panas. Membakar tulang leher hingga ke punggung.
Tangis Lycaon pecah. Bukan tangis kesakitan semata, tetapi tangis yang dilepas dari luka-luka lama. Dari penyesalan pernah meninggalkan. Dari bingung yang sempat bersemayam. Dari rasa takut dibuang.
Air matanya benar-benar tidak dapat dicegah. Kala feromonnya menyatu dengan feromon Hugo. Kala darahnya dihisap oleh Hugo. Kala lubangnya menghimpit panjang ereksi Hugo. Lycaon menangis, sejadi-jadi.
Kendati begitu, dia tidak ingin Hugo berhenti sebab, dengan ini, semua rasa itu akhirnya meletup. Cinta. Kepemilikian. Rasa cukup. Aman. Nyaman.
Akhirnya, dia bukan hanya diinginkan. Dia diikat. Ditandai. Dirangkul seutuhnya.
“Aku sayang kamu,” bisik Hugo begitu gigitannya selesai. Dia dekap erat-erat tubuh Lycaon yang── sayang ──wajahnya belum bisa dipandang. Walau begitu, Hugo tahu; dia bisa tahu ekspresi wajah apa yang Lycaon lukis sekarang .
Di sisi depan, Lycaon bersumpah mampu merasakan feromon Hugo mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Selayaknya arus sungai. Aroma anggur tua, kayu manis hangus, dan tembakau basah mengisi paru-paru, mengalir dalam nadi, menembus hingga rahim tempat tiga kehidupan kecil sedang tumbuh.
Sebuah garis ditarik dalam diri, halus dan abadi. Sebuah penandaan.
“Aku sayang kamu banget.” Bisik Hugo, lagi . Tidak menggerakkan pinggul. Tidak mendorong. Hanya membiarkan ereksinya terbenam dalam hangat, sempit, serta basahnya liang Lycaon.
“Aku juga,” ucap Lycaon setelah isak tangisnya mereda, “aku juga sayang kamu, Hugo.” Kalimatnya menyempurnakan, membuat mereka, untuk pertama kalinya , tidak merasa takut.
“Aku mau kita jadi keluarga, sampai tua nanti.” Hugo berkata.
Lycaon menarik napas dalam-dalam, air matanya masih mengalir dari sisa perih yang menyengat, “pasti. Kamu udah jadi rumah kan sekarang.” Bisik Lycaon, gemetar. Dia pindahkan tangannya menggenggam tangan Hugo.
Dan Hugo, dalam napas panjang yang akhirnya stabil dari kekhawatiran, menjawab lirih, “kamu juga rumah, Lyca. Rumah aku sama mereka.”
“Mhm,” berdeham Lycaon serentak menundukkan kepala. Dia usap punggung tangan Hugo seraya memperhatikan perutnya dengan pandangan buram akibat air mata, “aku sayang banget sama kamu, Hugo.”
Dan malam itu, tanpa kata penutup, dunia memberi mereka ruang untuk menjadi satu. Bukan hanya karena nafsu. Bukan hanya karena alpha dan omega. Bukan hanya Hugo dan Lycaon. Tetapi kesatuan yang memberi tanda akan dua sukma saling butuh, bertahan, percaya, dan ada.
Tentang dua orang yang akhirnya tahu; pulang itu nyata.
Tubuh Lycaon dibawa ke batas paling rapuh oleh Hugo, paling peka. Tubuhnya menyusu, mengucur, dan menerima. Dia dipenuhi sepenuhnya, dibanjiri cinta dan cairan hingga tak berhenti-henti mendesah sepanjang malam.
Dan, itu cukup .
Terlebih, ketika pagi tiba, ketika dia bangun tidur, mimpi buruk yang dulu ia pikir akan terus menjadi hantu menghilang. Tidak menyisakan apa-apa selain kenyenyakan. Jadi, untuk sekarang, itu lebih dari cukup.
Mereka mungkin akan bertengkar lagi nanti. Mereka akan saling menyakiti, mungkin . Tetapi mereka juga akan bangun pagi bersama. Akan menyuapi satu sama lain. Akan menenangkan ketiga tangisan bayi yang belum lahir. Akan memikirkan nama-nama, membeli baju-baju kecil, mempersiapkan tiga ranjang, dan mengingat-ingat semua yang sudah berlalu.
Tapi untuk sekarang, biarlah mereka merasa penuh dan ditambatkan. Biarlah mereka berpikir, kalau ini bukan cinta, maka mereka tidak ingin tahu lagi artinya apa.
